Seandainya berita-berita ringan tentang dunia diberikan kepada dunia dan disebarkan oleh pengguna sosial, kemungkinan besar angka positif Corona juga akan berkurang. Penikmat informasi melalui media tidak lagi membebani diri sendiri dengan hal-hal yang menakutkan. Masyarakat tidak lagi mencemaskan hal-hal yang belum tentu terjadi di daerahnya karena kondisi daerah berbeda.
![]() |
Corona mengubah dunia dalam sekejap. [Photo: Pexels] |
**
Akhir
Desember 2019, dunia dikejutkan dengan informasi penemuan virus baru di Wuhan,
China. Virus ini diduga memiliki kesamaan dengan virus yang menyerang Cina pada
tahun 2002, yaitu Severe Acute Respitory Syndrome (SARS). Corona virus
yang menginfeksi Wuhan mendadak terdengar mencekam. Berbagai potongan video
beredar di WAG dengan narasi yang memprovokasi. Ada yang mengatakan dokter yang
tiba-tiba meninggal mendadak saat menangani pasien. Orang-orang di jalan berubah
seperti zombie, terjatuh dan terpapar dengan sendirinya. Wuhan mendadak seperti
kota mati.
Bukan
saja di Wuhan, kekhawatiran yang sama juga terjadi di kota-kota lain negeri
tirai bambu. Terutama kota-kota yang memiliki akses internasional seperti
Beijing, Shanghai, Shenzhen, Xiamen, Guangzhou, dan lain-lain. Pemerintah
daerah setempat ada yang langsung menutup akses, ada pula yang masih santai saja.
Kesigapan
berbagai lembaga pendidikan Cina juga memberikan kelonggaran untuk mahasiswa
asing pulang kampung sebelum virus
menyebar lebih parah. Mereka menyatakan, jika nanti setelah pemberitahuan ada
yang terinfeksi, maka pihak kampus tidak bertanggung jawab. Pihak kampus
memberi cuti kepada mahasiswa dan mereka diminta untuk memeriksakan kesehatan
sebelum pulang. Beberapa mahasiswa memilih pulang, namun ada juga yang masih
bertahan dengan alasan biaya kepulangan yang tidak sedikit. Akhir tahun, harga
tiket melonjak. Tempat pariwisata di dunia dibuka untuk umum, khususnya
negara-negara Asia yang terkenal sebagai destinasi wisata pelancong dari barat.
Awal
Januari 2020 berbeda dengan pergantian tahun sebelumnya, kali ini tidak lagi
membahas tentang resolusi. Terutama ketika beberapa negara di dunia mulai terjangkit. Indonesia
masih tenang-tenang saja dengan berbaggai komentar terhadap Cina. Ada pula yang
mengatakan bahwa warga Indonesia konsumsi rempah ampuh yang dapat melawan virus
memasuki tubuh. Sementara media sudah mengabarkan, India salah satu negara yang
terpapar virus. Padahal masyarakat India dikenal sebagai pengkonsumsi rempah
yang tak kalah banyak dibanding dengan Indonesia.
Konyolnya,
beberapa orang penting negara angkat bicara di media soal virus Corona. Keadaan
yang seharusnya dipandang serius jadi terkesan main-main. Virus Corona hanya
lawakan. Virus Corona tidak akan masuk ke Indonesia karena masyarakatnya
mengonsumsi rempah. Masyarakat Indonesia tidak akan terpapar virus karena rajin
baca kunut, dan berbagai anggapan lainnya yang menganggap remeh.
Di
saat negara lain sudah mulai menutup akses, Indonesia masih membuka bandara.
Padahal sudah jelas bandara adalah akses VIP virus untuk menyebar di Indonesia.
Tidak ada yang menyadari dirinya sudah terjangkit, karena tidak semua pasien
mengalami gejala sakit seperti yang diinformasikan tenaga media melalui media
massa. Ada yang sehat-sehat saja, tapi setelah diperiksa ternyata terjangkit.
Positif.
Awal
Maret 2020, media memberi kabar ada dua orang asal Depok positif Corona.
Setelah kabar ini, satu persatu pasien positif muncul dan diisolasi. Pasien
pertama yang meninggal seperti membuka sedikit ruang sadar bagi pemirsa
televisi di Indonesia bahwa virus ini serius. Bukan rekayasa dan informasi hoax
yang disebarkan oleh pihak tidak bertanggung jawab. Sebagai juru bicara
Covid-19, Achmad Yurianto terus mengabarkan informasi terkait melalui
konferensi pers. Bahkan beberapa kali email saya mendapat surat dari editor
Kompas dan mengingatkan segala hal yang berkaitan dengan si mungil tak kasat
mata. Media bertiras tinggi di Indonesia ini mengingatkan agar tidak mendengar
informasi dari orang tak bertanggung jawab. Informasi valid hanya disampaikan
oleh Pak Yuri, sapaan akrab sang jubir Covid-19 di Indonesia.
Kekhawatiran
lockdown seperti yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Wuhan
mencemaskan masyarakat. Masyarakat yang tadinya abai mulai memasuki toko-toko
dan super market terdekat untuk memborong apa saja yang bisa disimpan. Ditimbun
demi menyelamatkan diri. Mulai dari masker, hand sanitizer, gel pencuci
tangan, sampai bahan pokok untuk bertahan hidup.
Pertengahan
Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Corona Virus
Disease-19 (Covid-19) sebagai pandemi. Media memberi kabar lagi, bahwa
negara sekuat Amerika Serikat pun terlumpuhkan oleh virus ini. Amerika Serikat
menempati urutan pertama kasus terkonfirmasi terbanyak di dunia, diikuti
Spanyol dan Italia. Cina bahkan nyaris lenyap dari daftar.
Bukan
saja di Aceh, di negara mana pun kebijakan stay at homei dan social
distancing masih banyak diabaikan oleh masyarakatnya. Di Aceh, kebijakan
ini terdengar seperti main-main. Beberapa masyarakat seolah lupa bahwa apa yang
diperintahkan oleh pemerintah adalah bagian dari usaha untuk mencegah selain
berdoa kepada Allah.
Jak U London (Pergi ke London)
Kegaduhan
Covid-19 bukan saja berada di media. Pemirsa media yang berdomisili di sebuah
perkampungan berjarak beberapa puluh meter dari kaki Seulawah pun menjadi trending
topic. Penduduknya masih biasa-biasa saja dengan isu virus. Kehidupan
dijalani dengan normal. Ketika beberapa masjid di Banda Aceh sudah kosong waktu
salat Jumat, di sini masjid masih penuh sebagaimana biasa. Keadaan tidak
mempengaruhi apapun.
![]() |
Lockdown salah satu solusi yang dilakukan Indonesia selama pandemi. [Photo: Pexels] |
Beberapa
orang tua masih berkumpul di rumah-rumah. Isu Corona juga menjadi topik menarik
untuk dibahas selain obrolan masa panen, kembali bersawah, dan hidup yang
semakin susah. Usia mereka rata-rata di atas 60 tahun. Mencecap kehidupan lebih
banyak daripada para pejabat negara yang membuat aturan.
Pembahasan
pertama terkait stay at home atau di rumah saja. Nek Asiah, perempuan
yang jalannya mulai tertunduk-tunduk bertanya tentang stok barang di Kedai
Sawah, sebuah toko kelontong di pinggir sawah yang menjual kebutuhan pokok.
“Loen
(saya) dengar, sabun-sabun sudah habis di Kedai
Sawah. Orang sudah habis membeli. Untuk apa mereka menumpuk sabun di rumah?
Mengapa mereka tidak membeli yang lain saja? Harga telur dan gula sudah naik.
Mahal sekali sekarang, sekilo gula pasir Rp 30 ribu,” Nek Asiah bercerita. Ia
menduga warga sekarang sudah salah memilih barang untuk disimpan. Di masanya,
jika ada isu boikot atau blokir, warga akan berbondong-bondong menimbun
sembako.
Teman
ngobrolnya menanggapi, “itu gara-gara pemerintah menyuruh london. Kalau
pemerintah tidak meminta kita london, pasti harga tidak naik dan kita
masih bisa mencari rezeki. Kalau sudah begini siapa yang bisa membantu kita?”
Wanita
lainnya yang lebih melek informasi menjelaskan, “kabarnya kalau sudah dilondon
nanti pemerintah akan memberikan bantuan kepada masyarakat berupa gula, telur ayam, dan beras sekarung.
Mudah-mudahan benar, ya. Biasanya pemerintah kan hanya peugah haba (bicara)
saja.”
Obrolan
mereka berlanjut. Mulai dari harapan agar janji yang diungkapkan di media
terwujud sampai keinginan untuk kembali turun ke sawah. Mereka membahas virus
Corona lebih detil, mengaitkan dengan penyakit ta’un yang pernah mewabah
di masa lalu. Bahkan ketika para nenek-nenek ini masih kecil dan remaja,
penyakit serupa juga merenggut nyawa-nyawa orang terdekat.
“Dulu
tidak seperti sekarang, semuanya diberi nama. Penyakit ini dulunya juga ada,
tapi tidak bernama,” Nek Asiah berbagi informasi. Di antara semuanya, ia adalah
orang tertua.
“Kalau
sekarang sudah diberi nama. Corona namanya. Pemerintah menyuruh kita jak u
london biar tidak ikut terkena corona,” rekannya yang lain menambahkan.
Mereka belum bisa menyebutkan istilah asing itu dengan benar.
“Sekarang
zaman sudah mulai aneh. Sedikit-sedikit diberi nama. Sedikit-sedikit jak u
london. Lalu kita makan apa?” celetukan rekan Nek Asiah yang lain terkesan
menentang. Dia merasa tidak senang rutinitasnya dihambat, “sekarang kita tidak
dikasih keluar. Rusak silaturahmi!”
Salah
satu fungsi media adalah mengedukasi. Memberi penjelasan istilah kepada
masyarakat awam adalah bagian dari cara media mengedukasi. Harusnya media
menerjemahkan istilah tersebut untuk kemudahan masyarakat. Bagi orang awam,
istilah tersebut bukan saja asing. Nek Asiah dan rekan sejawatnya tidak
mengerti bagaimana pengucapan lockdown sampai terpeleset menjadi london.
Orang-orang seperti Nek Asiah juga tidak mengerti kata panic buying yang
disebut-sebut di media. Kenyataan yang dilihat oleh Nek Asiah dan para rekannya
mengagetkan mereka. Namun mereka tidak mengerti mengapa orang-orang memborong.
Tempat
ibadah di kampung yang harusnya menjadi pusat informasi bagi masyarakat juga
tidak memberikan informasi terkait tindakan preventif. Para teungku di kampung
berlomba mengingatkan masyarakat untuk takut dan tunduk kepada Allah, bukan
kepada virus. Kekuatan masjid sebagai sumber informasi selain media massa tidak
mengambil peran penuh sebagai media center masyarakat.
Hingga
artikel ini selesai ditulis, masyarakat di jalan lintas utaman Banda Aceh-Medan
masih menyerap informasi dari media TV yang bahasanya sulit dimengerti. Padahal
salah satu fungsi media massa adalah untuk memberikan informasi kepada
masyarakat, terutama masyarakat awam yang tidak memahami istilah asing yang
muncul selama corona.
#dirumahaja dan WFH
Selain
menerapkan lockdown, pemerintah juga mengimbau semua pekerja untuk
bekerja di rumah saja. Meskipun bekerja dari rumah tidak bisa diterapkan oleh
semua orang. Dalam waktu yang sama semua media mengampanyekan gerakan
#dirumahaja untuk melakukan aktivitas, tapi ada beberapa kelompok rentan yang
harus turun ke jalan untuk mendapatkan sesuap nasi untuk melanjutkan hidup di
hari esok. Setiap hari mereka keluar, berharap ada yang membeli dagangannya
untuk mengganjal perut keluarga.
![]() |
Stay at home selama pandemi mengubah gaya hidup berbasis digital [Photo: Pexels] |
Kelaparan
lebih menakutkan bagi mereka dibandingkan ancaman virus yang tidak mengenal
siapa saja. Padahal jika terpapar, maka satu keluarga yang dia cintai akan
terpapar juga. Mata rantai tidak akan terputus selama masih ada yang abai
dengan perintah yang diumumkan. Mereka yang bekerja di jalan lebih rela diancam
atau dipukuli petugas keamanan daripada pulang dengan tangan kosong.
Memasuki
bulan April, media mulai berkabar tentang Pemutusakn Hubungan Kerja (PHK) bagi
karyawan di perusahaan swasta. Mereka tidak bisa melanjutkan kontrak bagi
pegawai karena minimnya pemasukan. Beberapa perusahaan pun terancam gulung
tikar.
Ketika
pemerintah mulai menerapkan sistem Work From Home (WFH), sebagian
lembaga swasta tidak bisa melakukan itu. Beberapa perusahaan yang bergerak di
bidang sembako harus mengerahkan semua karyawan untuk tetap bisa
mendistribusikan bahan pokok ke seluruh kota. Sopir-sopir pemegang SIM B juga
turun ke lapangan untuk menjadi pahlawan bagi mereka yang melakukan WFH.
Sejauh
ini, media tradisional seperti TV dan koran masih sedikit yang mengangkat
informasi tentang mereka yang mengangkat informasi tentang mereka yang tidak
bisa bekerja dari rumah. Hampir tidak ada media yang melakapkan para sopir
pengantar sembako sebagai pahlawan yang mempertahankan hidup orang lain.
Padahal media berita seperti televisi adalah media paling efektif untuk
mengabarkan pada dunia masih ada yang tidak baik-baik saja dan butuh perhatian
khusus dari dampak virus. Kasus-kasus yang terus meningkat tidak ada
pengaruhnya untuk mereka tetap berjuang demi keluarga mereka.
Para
pekerja dengan ikatan dinas terpaksa mengerjakan segala sesuatu dari rumah.
Bercampur dengan aktivitas rumahan lain. Pekerjaan yang harusnya bisa
diselesaikan dengan mudah lebih banyak terbengkalai karena tidak fokus. Kuota
internet 15 GB perbulan yang dulunya tidak habis, meningkat berkali-kali lipat
selama masa WFH.
Sebagai
salah satu tenaga pengajar saya merasakan hal serupa. Mahasiswa yang saya asuh
untuk beberapa mata kuliah tidak bisa hadir di sistem e-learning dengan
alasan kuota internet dan jaringan. Kegiatan belajar mengajar yang awalnya
diberikan melalui elearning akhirnya berubah ke WAG dengan harapan semua
bisa mendapatkan materi meskipun terlambat membaca atau baru dapat sinyal.
Kecemburuan
sosial muncul ketika beberapa mahasiswa dari kampus lain menulis status di
sosial media mereka. Kampus memberikan fasilitas internet untuk kuliah daring.
Para dosen yang merasa terintimidasi dengan serangan di grup berdiskusi dan berharap ada solusi.
Penjelasan tentang kondisi sama-sama beradaptasi dianggap teori oleh mereka
yang merasa terzalimi pandemi.
Sampai
suatu hari, sebuah media lokal mengabarkan informasi mahasiswa asal Beutong
Ateuh meninggal dunia demi kuliah daring. Berutong Ateuh adalah sebuah kampung
di pegunungan Singgah Mata. Perbatasan dengan kabupaten Nagan Raya dan Aceh
Tengah. Alamnya asri dan jaringan internet masih susah. Mahasiswa asal Beutong
Ateuh membuat posko belajar daring di jalan lintas Takengon-Nagan Raya. Jalanan
aspal hitam di tengah gunung membelah hutan lindung dan sepi.
Berita
ini menggemparkan kelompok mahasiswa yang kuliah di kabupaten. Kesempatan
memprotes kebijakan kuliah dari daring disampaikan dengan berbagai alasan. Di
salah satu mata kuliah yang saya asuh, mahasiswa diwajibkan menulis artikel
tentang kuliah daring. Berbagai pendapat dan cercaan terhadap dosen dan metode
belajar diungkapkan membuat bulu kuduk meremang. Mahasiswa berharap dosen bisa
menyampaikan materi kuliah seperti di kampus-kampus unggulan Indonesia. Namun
mereka lupa bahwa kuota internet dan jaringan yang dikeluhhkan itu sangat
menentukan kelancaran proses kuliah seperti di kampus besar ibu kota.
Suatu
hari menjelang Ujian Tengah Semester (UTS) seorang mahasiswa menelepon. Saya
tidak mengangkat karena sedang menulis materi untuk perkualiahan yang saya
unggah berkala setiap akan mengajar. Mahasiswa ini kemudian mengirim pesan
suara. Dia menangis sesenggukan.
Dia
berkata, “Bu, tolong ibu bilang dengan keras pada teman-teman satu kelompok
dengan saya agar menyelesaikan tugasnya. Saya capek selalu menanggung tugas
mereka. Selama ini mereka tidak pernah bekerja. Saya kirim Wa pun tidak
dibalas. Si A, Bu. Dia hanya memerintahkan saja semua orang bekerja tanpa
berpikir jika saya juga mengerjakan tugas lain. Tolong, Bu. Saya sudah tidak
tahan lagi.”
Antara
merasa bersalah dan menyesal saya membalas, “apakah hanya untuk tugas saya?”
“Bukan,
Bu. Untuk semua tugas. Kami tidak tahu lagi mau bercerita kepada siapa. Saya
tidak tahu apakah dosen lain merespons apa yang saya katakan atau tidak, tapi
saya sudah sampaikan kepada semua dosen. Jangan sampai kami seperti mahasiswa
dari Beutong itu, Bu. Meninggal gara-gara kuliah daring.”
Satu
lagi peran media ditunjukkan. Media bukan saja memberikan informasi yang
bermanfaat, tapi juga memberikan ide untuk mereka yang memiliki kepentingan.
Sosial Media Dekatkan Dunia
Keluhan
sejenis juga bisa dengan mudah kita baca di sosial media mereka. Pengguna
sosial media tidak lagi memfilter mana yang layak dipublikasikan. Peran medsos
akhirnya terkesan negatif.
Jika
selama ini sosial media sangat berpengaruh besar dalam memberikan informasi
negatif terkait corona, sosial media juga memberikan informasi positif terkait dengan informasi dunia. Di era
digital ini. hampir semua orang menggunakan ponsel sebagai alat komunikasi.
Berbagai perusahaan start up menjajakan aplikasi secara gratis untuk
pengguna ponsel pintar. Semua pengguna bisa memasang aplikasi secara gratis di
ponsel mereka, kecuali untuuk pengguna Iphone yang sebagian aplikasi memang
harus dibeli.
![]() |
Sosial media mendekatkan penggunanya. [Photo: Pexels] |
Twitter,
salah satu sosial media yang banyak digunakan di dunia juga berpean mengambil
peran penyebaran informasi selama wabah pandemi mendunia. Beberapa informasi
terkait dengan Corona juga disebarkan di twitter, di re-tweet ribuan kali. Sama
seperti virus, dari twitter informasi menyebar dan mewabah bagi pengguna yang
lain di seluruh dunia.
Selain
India yang tingkat polusinya tinggi, Beijing sebagai ibukota Cina yang terkenal
dengan polusi beracun juga memberikan kabar baik kepada dunia. Seperti
diketahui oleh masyarakat, Beijing merupakan salah satu ibukota di dunia yang
memiliki tingkat pencemaran udara tertinggi. Polusi yang berasal dari pabrik
seperti mencekik paru-paru. Sejak pemberhentian operasi di pabrik-pabrik di
Beijing, pencemaran udara dari nitrogen dioksidasi turun 40%. Sebagai penghasil
emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, kebijakan di rumah saja yang diterapkan
oleh pemerintah Cina menyumbangkan kebersihan udara untuk dunia. Masyarakat di
ibukota yang menanti langit biru kembali bisa menikmati langit biru sejak
pandemi melanda.
Selama
pandemi, berita positif di luar peningkatan jumlah kasus positif dan angka
kematian semakin meningkat juga membutuhkan informasi lain yang mendukung.
Berita-berita ringan seperti ini dibutuhkan masyarakat untuk mentralisir berita
negatif dan putus harapan yang terus menerus dikonsumsi.
Seandainya
berita-berita ringan tentang dunia diberitakan kepada dunia dan disebarkan oleh
pengguna sosial media, kemungkinan besar angka positif Corona juga akan
berkurang. Penikmat informasi melalui media tidak lagi membebani diri sendiri
dengan hal-hal yang menakutkan. Masyarakat tidak lagi mencemaskan hal-hal yang
belum tentu terjadi di daerahnya karena kondisi daerah berbeda.
Belakangan,
media di Indonesia pun mulai membuat konsep pemberitaan sesuai dengan
jurnalisme bencana. Media tidak lagi mengulang berita-berita yang sifatnya
menakuti pemirsa karena wabah. Satu persatu berita positif mulai bermunculan
lengkap dengan tagar meida lawan corona. Sejak media TV mulai menyeimbangkan
pemberitaan, angka kesembuhan meningkat. Harapan mulai tumbuh di hati
masing-masing pasien yang terpapar. Pemberitaan tentang kematian pun mulai
berkurang.
Selain
berita yang ditunggu oleh masyarakat, iklan komersil pun mulai beralih membuat
konten dengan konsep kampanye lawan Corona. Dua di antaranya iklan komersil
versi Ramadhan yang dibuat oleh Telkomsel dan IM3 Ooredoo yang merupakan
provider internet dan telepon di Indonesia.
IM3
Ooredoo tayang di TV lebih dulu daripada Telkomsel. Tema yang diangkat adalah
silaturahmi setiap hari dengan memilih Hindia, Yura Yunita, Sal Priadi, dan
Kunto Aji sebagai pengisi vokal. Hindia (Baskara Putra) yang dikenal sebagai
musisi menulis lagu sederhana sarat sosial dan budaya. Sejak kemunculannya di
dunia hiburan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini langsung
meraup jutaan penggemar.
Iklan
komersil IM3 Ooredoo yang ditayangkan di TV berdurasi 1 menit 30 detik dan
ditayangkan di Kanal YouTube IM3 Ooredooo dengan jumlah penonton lebih dari 31
juta penonton. Di kanal resmi Ooredoo juga ditayangkan versi panjang dengan
durasi 3 menit 8 detik dengan isi pesan yang lebih lengkap.
Video
ini ditonton lebih banyak dari versi
iklan yang tayang di TV. Sebanyak 143 juta lebih ditonton dan umumnya mendapat
komentar positif. Iklan komersil IM3 Ooredoo tidak terkesan menjual produk,
iklan ini lebih tegas menunjukkan pesan verbal berupa kampanye untuk di rumah
saja oleh perusahaan iklan.
Di
rumah-rumah yang memiliki TV, setiap jeda program acara tertentu, lirik lagu
ini akan terdengar dari penonton stasiun TV yang sama.
Saat
semua tak jelas arahnya
Kita
hanya punya bersama
Lewati
curam terjalnya dunia
Ramai
sepi ini milik bersama
Saat
terasa berat-beratnya
Kutahu
kau pun berjuang juga
Hadapi
semua langsung di muka
Apa
pun yang terjadi tidak apa
Sama
seperti lirik iklan IM3 Ooredoo, saat ini semua orang bernasib sama. Berada di
rumah, menjaga jarak, dan tidak bisa melakukan rutinitas seperti biasanya.
Namun, apapun yang terjadi silaturahmi harus tetap terjaga. Kehadiran media
baru memberi kemudahan untuk penggunanya dengan tujuan silaturahmi. Virus yang
menjangkiti pemirsa di Indonesia seolah memberi pesan, “tinggal di rumah dulu,
jangan kelayapan. Biarkan bumi memulihkan diri sendiri setelah dikacaukan oleh
tangan usil manusia.
**
kangen jaman jaman WFH, lebih fleksibel tapi bosen gak bisa ngobrol sama rekan :(
BalasHapusIya. Saya ingatnya pas WFH teman-teman video call grup cuma buat cerita bosan di rumah
Hapus