Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Sebuah Kisah Klasik di Kelas KPI Angkatan 2022

Mengajar tiga mata kuliah di kelas yang sama terkadang membuat mahasiswanya stress. Padahal diskon belajarnya sudah up to 60%.

 The Last Call

“Berikut ini adalah nama-nama yang sudah lengkap dan belum lengkap tugas. Silahkan ditambah jika mau aman, tidak perlu ditambahkan jika mau ikhlas apa adanya, ya.”

Pesan itu saya kirim ke Whatapp Group satu minggu sebelum final. Rasanya sangat puyeng memikirkan nilai empat mata kuliah dengan saya, sementara orang-orang yang bersangkutan nggak merasa sama sekali. Duh, rasanya pengen jalan kaki ke puncak Singgah Mata nggak, sih?

Ya, mereka adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) angkatan 2021. Sebenarnya, kejadian seperti ini bukan sekali. Malahan berulang kali dan saya curiga ini penyakit warisan dari seniornya.


sebuah kisah klasik
Belajar bersama bagian dari kuliah. [Photo: Pexels]


Sebuah Kisah Klasik

Ini bukan lagu Sheila On 7 yang kerap saya dengar saat bekerja. Bukan pula judul novel yang pernah saya garap tapi nggak selesai. Ini kisah tentang mahasiswa di mata kuliah yang saya ampu setiap tahun. Selalu tyerulang mode bandel yang sama, peringatan yang serupa, tapi tak kunjung taubat.

Apalagi kalau bukan mahasiswa malas menulis, pakai cara cepat copy paste, dan yang penting kirim dulu lah. Asal Bu Ulfa senang. Begitu kira-kira. Padahal apa yang ditekankan pada semester ini bukan pula untuk saya, tapi untuk masing-masing individu dalam melebarkan sayapnya ke dunia kerja.

Dari tahun ke tahun, tepatnya sejak saya mulai mengajar di kampus ini mulai tahun 2019, saya selalu merasa masalahnya sama. Satu dua saya menemukan bakat terpendam mahasiswa di bidang menulis. Biasnaya mereka juga tidak berpijar karena merasa berbeda dengan teman lain yang belum menemukan minatnya atau berbeda dengan kebanyakan teman.

Mahasiswa seperti ini umumnya akan mengakhiri karir menulisnya tepat setelah seluruh rangkaian mata kuliah menulis berakhir. Usaha kami yang selama ini mendorong dan memaksa mahasiswa harus bisa menulis ambyar. Tersisa cerita ketika ngumpul di warung kopi atau pujian yang tenggelam di Whatapp Grup.

Harapan Untuk Mereka

Saya nggak mungkin berharap seluruh mahasiswa saya menyukai menulis apalagi menjadi penulis. Namun mereka bisa menulis dan tulisan mereka layak dibaca oleh publik saja sudah sebuah pencapaian luar biasa. Setidaknya saat mereka berada di dunia kerja yang tidak seindah drama Korea mereka hadapi, mereka punya modal. Sisanya pengembangan diri dari keinginan hati yang paling dalam.

Sebagai eks mahasiswa yang pernah melalui semester lima yang berat, saya paham betul kalau di fase ini mulai muncul keraguan yang menggoda. Ada yang tergoda berhenti, cuti, atau bahkan salah prodi. Sebagai dosen, saya hanya bisa mengingatkan bahwa apa yang mahasiswa hadapi adalah masa jenuh menjadi mahasiswa dan manajemen waktu yang belum tepat.

Setiap tahun pada semester ganjil, saya selalu berharap tidak ada yang menyerah di tengah jalan. Apalagi jika alasannya lelah, bekerja, ataupun bingung mau jadi apa. Semua alasan itu tentu muncul tanpa pikiran logis. Dan, hei! Saya hanya ingin katakan, “kalian sudah separuh jalan. Hanya sedikit lagi, jangan menyerah! Bertahan, berjuang, dan selesaikan apa yang sudah dimulai.”

Tiga Mata Kuliah Praktik

Banyak mahasiswa yang melabeli saya sebagai dosen killer. Padahal saya sama sekali nggak killer, kok. Label itu kalau bukan karena warisan senior pasti karena dampak stress mahasiswa karena harus masuk tiga mata kuliah praktik dengan saya. Ya, tiga mata kuliah praktik yang bikin pusing.

Jurnalisme Damai dan Bencana

Mata kuliah wajib prodi yang menggalaukan. Bukan cuma mahasiswa yang blenger, dosennya juga. Selain mengajar, dosen juga punya tugas lain. Maka dua MK yang digabung ini sebenarnya agak membuat kepala pusing. Di kurikulum KPI baru, mata kuliah ini sudah dipecah menjadi Jurnalisme Damai dan Jurnalisme Lingkungan Hidup. Masing-masing 2 SKS dan tetap saja ini mata kuliah praktik.

Pada semester ini, kesibukan akreditasi dan aktivitas akhir tahun membuat saya nggak punya pilihan karena pertemuan kuliah tersita oleh kegiatan lain. Fokus mata kuliah ini lebih dalam membahas jurnalisme lingkungan hidup dan bencana alam. Pertemuan 2 SKS dengan model pembelajaran discovery learning dan project based learning memang lumayan menguras waktu. Teori 1 SKS dan praktik 1 SKS. Capaian pembelajarannya adalah artikel jurnalistik lingkungan hidup. Meski agak sulit, tapi mata kuliah ini sangat berkelanjutan. Akan selalu ada dibutuhkan.

Penulisan Artikel

Di antara empat mata kuliah yang saya ampu semester ini, Penulisan Artikel yang paling saya sukai. Mengajar mata kuliah ini saya tidak punya beban dan melakukan yang terbaik. Mata kuliah ini seperti mementori Teman Belajar di The Oliversity Literacy Community.

Biasanya, setiap semester mahasiswa wajib menulis 10 artikel. Namun untuk tahun ini saya hanya mewajibkan delapan artikel dan temanya bebas. Tidak ditentukan berdasarkan tema. Dua pertemuan yang didiskon bertepatan dengan kegiatan saya ke Lombok untuk menghadiri Kongres Nasional Komunikasi Islam (KNKI) dan Pelatihan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP). Keduanya memang ditugaskan dengan surat resmi dari Ketua STAIN Meulaboh. Artinya, tidak ada perkuliahan untuk dua pertemuan dalam minggu ini.

Bahasa Jurnalistik

Mata kuliah ini cukup fleksibel. Meskipun praktik, tapi ini sangat membantu untuk dua mata kuliah lainnya. Tulisan yang sudah diposting di Kompasiana dipilih secara acak, kemudian dibedah bersama dengan pendekatan bahasa jurnalistik. Bedah karya mahasiswa untuk meningkatkan kualitas tulisan mahasiswa agar siap bersaing dengan artikel jurnalistik dengan media kredibel lainnya.

Meski sudah berusaha melakukan yang terbaik, saya juga shock ada mahasiswa yang datang kepada saya dan bertanya dengan pertanyaan aneh. Pertanyaannya, “Bu, kenapa tulisan saya yang dibedah?”

Pertanyaan ini seperti sebuah kejutan listrik buat saya. Saat sedang belajar menulis, saya sangat senang jika tulisan saya dibedah. Pertanyaan ini menunjukkan kekecewaannya karena tulisannya yang dibedah. Hei, tulisan yang dibedah harusnya menunjukkan adanya potensi kualitas dari si tulisan. Kenapa kecewa?

Pengumpulan Karya dan Antologi

Tujuan utama dari pengumpulan tulisan dan bedah tulisan itu memang untuk meningkatkan kualitas menulis para mahasiswa. Selain itu, jika karyanya sudah bagus itu akan dikumpulkan untuk antologi (kumpulan tulisan) yang akan diterbitkan sebagai bukti bahwa mereka punya karya. Sayangnya, selama bertahun mencari karya, tidak ada karya yang mencukupi syarat. Pengumpulan karya saya lakukan dengan susah payah.

Beruntung KPI angkatan 2022 berpapasan dengan akreditasi. Akhirnya tulisan mahasiswa terbukukan sesuai dengan target. Terbit di bulan Desember dengan QRCBN. Meskipun nggak semua mahasiswa tulisannya terpilih, tapi tulisan yang dipilih sesuai dengan ketentuan awal. Artikelnya harus lebih dari 500 kata.

Satu lagi, tulisannya tidak berupa straight news. Ya, walaupun kebanyakan mahasiswa masih menulis dengan straight news. Alasannya juga mengangetkan, “karena nulisnya udah lewat deadline, Bu. Ya, kami nulis saja. Terpenting ada aja dulu tugasnya.”

What? Serius, kepingin nangis mendengar alasan salah satu mahasiswa saya ini. apakah karena sudah ada jaminan nilai 80, maka asal aja dulu? Padahal nilai itu hanya untuk yang memenuhi syarat. Kalau tidak memenuhi syarat, nilainya pasti di bawah itu. Anyway, para mahasiswa tugasnya sudah dibukukan, kok. Ke depan, tugas Ujian Akhir Semester (UAS) tentang maulid di kampung halaman juga akan dibukukan. Saya jadi sedih. Hiks!

Tentang Jelajah Imaji

Bagi sebagian besar mahasiswa KPI angkatan 2022, ini adalah antologi pertama. Saya berpikir keras untuk judul utama buku ini. Apa dan filosofinya apa? Sampai akhirnya saya menemukan dua kata dalam perjalanan ke kampus. Jelajah Imaji.


antologi tulisan mahasiswa


Jelajah Imaji ini mendeskripsikan pencarian ide para mahasiswa dalam menulis. Ada yang mendapatkan ide dengan mudah. Ada pula yang harus mengambil jalan aman dengan menulis straight news. Anyway, ini adalah usaha terbaik para mahasiswa saya untuk menemukan ide, menjelajah imajinasi.

Yes! You Are A Writer

Saya ingat perkataan teman saya saat saya menyebut diri bukan penulis, tapi sedang belajar menulis. Ada pakem di kalangan tertentu yang menyebut kalau kita baru boleh bersanding dengan sebutan menulis kalau karya kita sudah seperti mereka. Namun sahabat saya justru berkata lain, “kalau kamu menulis ya kamu penulis. Tidak mesti menjadi besar baru menyebut penulis. Menjadi besar butuh proses, dimulai dari hal kecil yang kamu tulis sekarang.”

Perkataan teman saya membuat perasaan lebih baik. Lebih tenang. Perkataan teman saya menunjukkan ada apresiasi untuk apa yang sedang saya perjuangkan. Saya bahagia, saya senang.

Begitu juga dengan mahasiswa saya yang sudah mengambil mata kuliah Penulisan Artikel, sudah menulis dan mengumpulkan karyanya dalam antologi. Kalian juga penulis. Yes! You Are A Writer.

Semua mahasiswa di kelas punya bakat dan penulis yang baik. Ada lima orang yang saya notif agar terus mengembangkan karyanya: Muhammad Idris, Nabila Rusadi, Irwandi, Khairul Ihsandi Zulfahri, dan Zulpina. Jangan berhenti, karena kalian sudah menemukan jati diri melalui menulis.

Posting Komentar