The Last Call
“Berikut
ini adalah nama-nama yang sudah lengkap dan belum lengkap tugas. Silahkan
ditambah jika mau aman, tidak perlu ditambahkan jika mau ikhlas apa adanya,
ya.”
Pesan
itu saya kirim ke Whatapp Group satu minggu sebelum final. Rasanya sangat
puyeng memikirkan nilai empat mata kuliah dengan saya, sementara orang-orang
yang bersangkutan nggak merasa sama sekali. Duh, rasanya pengen jalan kaki ke
puncak Singgah Mata nggak, sih?
Ya,
mereka adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) angkatan 2021.
Sebenarnya, kejadian seperti ini bukan sekali. Malahan berulang kali dan saya
curiga ini penyakit warisan dari seniornya.
Belajar bersama bagian dari kuliah. [Photo: Pexels] |
Sebuah Kisah Klasik
Ini
bukan lagu Sheila On 7 yang kerap saya dengar saat bekerja. Bukan pula judul
novel yang pernah saya garap tapi nggak selesai. Ini kisah tentang mahasiswa di
mata kuliah yang saya ampu setiap tahun. Selalu tyerulang mode bandel yang
sama, peringatan yang serupa, tapi tak kunjung taubat.
Apalagi
kalau bukan mahasiswa malas menulis, pakai cara cepat copy paste, dan
yang penting kirim dulu lah. Asal Bu Ulfa senang. Begitu kira-kira. Padahal apa
yang ditekankan pada semester ini bukan pula untuk saya, tapi untuk
masing-masing individu dalam melebarkan sayapnya ke dunia kerja.
Dari
tahun ke tahun, tepatnya sejak saya mulai mengajar di kampus ini mulai tahun
2019, saya selalu merasa masalahnya sama. Satu dua saya menemukan bakat
terpendam mahasiswa di bidang menulis. Biasnaya mereka juga tidak berpijar
karena merasa berbeda dengan teman lain yang belum menemukan minatnya atau
berbeda dengan kebanyakan teman.
Mahasiswa
seperti ini umumnya akan mengakhiri karir menulisnya tepat setelah seluruh
rangkaian mata kuliah menulis berakhir. Usaha kami yang selama ini mendorong
dan memaksa mahasiswa harus bisa menulis ambyar. Tersisa cerita ketika ngumpul
di warung kopi atau pujian yang tenggelam di Whatapp Grup.
Harapan Untuk Mereka
Saya
nggak mungkin berharap seluruh mahasiswa saya menyukai menulis apalagi menjadi
penulis. Namun mereka bisa menulis dan tulisan mereka layak dibaca oleh publik
saja sudah sebuah pencapaian luar biasa. Setidaknya saat mereka berada di dunia
kerja yang tidak seindah drama Korea mereka hadapi, mereka punya modal. Sisanya
pengembangan diri dari keinginan hati yang paling dalam.
Sebagai eks mahasiswa yang pernah melalui semester lima yang berat, saya paham betul kalau di fase ini mulai muncul keraguan yang menggoda. Ada yang tergoda berhenti, cuti, atau bahkan salah prodi. Sebagai dosen, saya hanya bisa mengingatkan bahwa apa yang mahasiswa hadapi adalah masa jenuh menjadi mahasiswa dan manajemen waktu yang belum tepat.
Setiap
tahun pada semester ganjil, saya selalu berharap tidak ada yang menyerah di
tengah jalan. Apalagi jika alasannya lelah, bekerja, ataupun bingung mau jadi
apa. Semua alasan itu tentu muncul tanpa pikiran logis. Dan, hei! Saya hanya
ingin katakan, “kalian sudah separuh jalan. Hanya sedikit lagi, jangan
menyerah! Bertahan, berjuang, dan selesaikan apa yang sudah dimulai.”
Tiga Mata Kuliah Praktik
Banyak
mahasiswa yang melabeli saya sebagai dosen killer. Padahal saya sama
sekali nggak killer, kok. Label itu kalau bukan karena warisan senior pasti
karena dampak stress mahasiswa karena harus masuk tiga mata kuliah praktik
dengan saya. Ya, tiga mata kuliah praktik yang bikin pusing.
Jurnalisme Damai dan Bencana
Mata
kuliah wajib prodi yang menggalaukan. Bukan cuma mahasiswa yang blenger,
dosennya juga. Selain mengajar, dosen juga punya tugas lain. Maka dua MK
yang digabung ini sebenarnya agak membuat kepala pusing. Di kurikulum KPI baru,
mata kuliah ini sudah dipecah menjadi Jurnalisme Damai dan Jurnalisme
Lingkungan Hidup. Masing-masing 2 SKS dan tetap saja ini mata kuliah
praktik.
Pada
semester ini, kesibukan akreditasi dan aktivitas akhir tahun membuat saya nggak
punya pilihan karena pertemuan kuliah tersita oleh kegiatan lain. Fokus mata
kuliah ini lebih dalam membahas jurnalisme lingkungan hidup dan bencana alam.
Pertemuan 2 SKS dengan model pembelajaran discovery learning dan project
based learning memang lumayan menguras waktu. Teori 1 SKS dan praktik 1
SKS. Capaian pembelajarannya adalah artikel jurnalistik lingkungan hidup. Meski
agak sulit, tapi mata kuliah ini sangat berkelanjutan. Akan selalu ada
dibutuhkan.
Penulisan Artikel
Di
antara empat mata kuliah yang saya ampu semester ini, Penulisan Artikel yang
paling saya sukai. Mengajar mata kuliah ini saya tidak punya beban dan
melakukan yang terbaik. Mata kuliah ini seperti mementori Teman Belajar di The
Oliversity Literacy Community.
Biasanya,
setiap semester mahasiswa wajib menulis 10 artikel. Namun untuk tahun ini saya
hanya mewajibkan delapan artikel dan temanya bebas. Tidak ditentukan
berdasarkan tema. Dua pertemuan yang didiskon bertepatan dengan kegiatan saya
ke Lombok untuk menghadiri Kongres Nasional Komunikasi Islam (KNKI) dan Pelatihan
Kompetensi Dosen Pemula (PKDP). Keduanya memang ditugaskan dengan surat resmi
dari Ketua STAIN Meulaboh. Artinya, tidak ada perkuliahan untuk dua pertemuan
dalam minggu ini.
Bahasa Jurnalistik
Mata
kuliah ini cukup fleksibel. Meskipun praktik, tapi ini sangat membantu untuk
dua mata kuliah lainnya. Tulisan yang sudah diposting di Kompasiana dipilih
secara acak, kemudian dibedah bersama dengan pendekatan bahasa jurnalistik. Bedah
karya mahasiswa untuk meningkatkan kualitas tulisan mahasiswa agar siap
bersaing dengan artikel jurnalistik dengan media kredibel lainnya.
Meski
sudah berusaha melakukan yang terbaik, saya juga shock ada mahasiswa yang
datang kepada saya dan bertanya dengan pertanyaan aneh. Pertanyaannya, “Bu,
kenapa tulisan saya yang dibedah?”
Pertanyaan
ini seperti sebuah kejutan listrik buat saya. Saat sedang belajar menulis, saya
sangat senang jika tulisan saya dibedah. Pertanyaan ini menunjukkan
kekecewaannya karena tulisannya yang dibedah. Hei, tulisan yang dibedah
harusnya menunjukkan adanya potensi kualitas dari si tulisan. Kenapa kecewa?
Pengumpulan Karya dan Antologi
Tujuan
utama dari pengumpulan tulisan dan bedah tulisan itu memang untuk meningkatkan
kualitas menulis para mahasiswa. Selain itu, jika karyanya sudah bagus itu akan
dikumpulkan untuk antologi (kumpulan tulisan) yang akan diterbitkan sebagai
bukti bahwa mereka punya karya. Sayangnya, selama bertahun mencari karya, tidak
ada karya yang mencukupi syarat. Pengumpulan karya saya lakukan dengan susah
payah.
Beruntung
KPI angkatan 2022 berpapasan dengan akreditasi. Akhirnya tulisan mahasiswa
terbukukan sesuai dengan target. Terbit di bulan Desember dengan QRCBN. Meskipun
nggak semua mahasiswa tulisannya terpilih, tapi tulisan yang dipilih sesuai
dengan ketentuan awal. Artikelnya harus lebih dari 500 kata.
Satu
lagi, tulisannya tidak berupa straight news. Ya, walaupun kebanyakan
mahasiswa masih menulis dengan straight news. Alasannya juga
mengangetkan, “karena nulisnya udah lewat deadline, Bu. Ya, kami nulis
saja. Terpenting ada aja dulu tugasnya.”
What?
Serius, kepingin nangis mendengar alasan salah satu
mahasiswa saya ini. apakah karena sudah ada jaminan nilai 80, maka asal aja
dulu? Padahal nilai itu hanya untuk yang memenuhi syarat. Kalau tidak memenuhi
syarat, nilainya pasti di bawah itu. Anyway, para mahasiswa tugasnya
sudah dibukukan, kok. Ke depan, tugas Ujian Akhir Semester (UAS) tentang maulid
di kampung halaman juga akan dibukukan. Saya jadi sedih. Hiks!
Tentang Jelajah Imaji
Bagi
sebagian besar mahasiswa KPI angkatan 2022, ini adalah antologi pertama. Saya
berpikir keras untuk judul utama buku ini. Apa dan filosofinya apa? Sampai
akhirnya saya menemukan dua kata dalam perjalanan ke kampus. Jelajah Imaji.
Jelajah
Imaji ini mendeskripsikan pencarian ide para
mahasiswa dalam menulis. Ada yang mendapatkan ide dengan mudah. Ada pula yang
harus mengambil jalan aman dengan menulis straight news. Anyway, ini
adalah usaha terbaik para mahasiswa saya untuk menemukan ide, menjelajah
imajinasi.
Yes! You Are A Writer
Saya
ingat perkataan teman saya saat saya menyebut diri bukan penulis, tapi sedang
belajar menulis. Ada pakem di kalangan tertentu yang menyebut kalau kita baru
boleh bersanding dengan sebutan menulis kalau karya kita sudah seperti mereka.
Namun sahabat saya justru berkata lain, “kalau kamu menulis ya kamu penulis.
Tidak mesti menjadi besar baru menyebut penulis. Menjadi besar butuh proses,
dimulai dari hal kecil yang kamu tulis sekarang.”
Perkataan
teman saya membuat perasaan lebih baik. Lebih tenang. Perkataan teman saya
menunjukkan ada apresiasi untuk apa yang sedang saya perjuangkan. Saya bahagia,
saya senang.
Begitu juga dengan mahasiswa saya yang sudah mengambil mata kuliah Penulisan Artikel, sudah menulis dan mengumpulkan karyanya dalam antologi. Kalian juga penulis. Yes! You Are A Writer.
Semua mahasiswa di kelas punya bakat dan penulis yang baik. Ada lima orang yang saya notif agar terus mengembangkan karyanya: Muhammad Idris, Nabila Rusadi, Irwandi, Khairul Ihsandi Zulfahri, dan Zulpina. Jangan berhenti, karena kalian sudah menemukan jati diri melalui menulis.
Posting Komentar