Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Blue Window (Ep. 4): Malam Tak Tenang

Terbangun tengah malam, Naeva disapa aroma mies instant. Naeva kaget karena orang yang memasak mie instant bukan seperti yang dipikirkannya.

Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter Blue Window sebelumnya.

(*_*)

Aku terbangun saat suasana kos sudah senyap. Tidak ada kehidupan yang bisa aku rasakan di setiap kamar. Gampang bagiku untuk mendeteksi kehidupan. Hanya menempelkan telinga di lantai kamar, seluruh kehidupan langsung masuk ke dalam memoriku.

Kalau kalian berpikir aku punya pendengaran ultrasonik, itu sama sekali tidak kumiliki. Bukan. Aku hanya terbiasa tidur di lantai kayu kamar kos saja. Aku bisa merasakan langkah teman satu kos dan mengenali milik siapa. Aku juga bisa membedakan posisi dimana langkah itu. Termasuk suara yang terdengar ke kupingku. Lantai papan di kos ini seperti mengirimkan informasi melalui serat-serat kayu yang semakin menua.


Blue Window
Ilustrasi Blue Window


Hanya ada dua orang penghuni kos yang memakai ranjang rendah di kos ini. Via punya dua orang abang yang tinggal di kos sebelah. Sebagai anak perempuan yang didampingi oleh dua orang abang di perantauan, dia mendapatkan fasilitas yang direlakan oleh abangnya meski mereka harus beralas tikar tipis.

Satu lagi yang memiliki ranjang di kos kami. Namanya Erika, mahasiswi kedokteran yang sangat dimanja oleh keluarganya. Jangan pikir dia anak tunggal, dia punya dua orang abang dan seoranga adik perempuan. Istimewanya dia karena cuma dia yang kuliah. Kedokteran pula. Kata Yumna, dia anak yang cerdas. Juara umum tingkat kabupaten dan tiada tandingan.

Kedua anak kos ini lebih rajin di rumah daripada menghabiskan waktu di kampus. Bukan anak organisasi lah. Sementara aku dan Erika, tipikal mahasiswa kura-kura. Kuliah rapat dan terus begitu terus sampai iblis tobat dan sedekah. Ya, kami aktivis mahasiswa. Nama kami hampir terdaftar di seluruh ormawa internal dan eksternal kampus.

Malam ini aku duduk merenung sambil menatap jam dinding yang menunjuk angka dua belas. Kalau saja aku terlahir sebagai laki-laki, aku nggak perlu repot mencari kos baru setelah anjuran pindah karena sudah selesai kuliah ini. Aku tinggal nomaden saja ke sana dan kemari seperti anak organisasi lainnya. Gampang. Selesai.

Kenyataannya aku masih di kamar kos ini dan melihat ke depan. Memikirkan kemana aku harus pindah sementara waktu begitu cepat berlalu. Bukan itu saja, aku harus menyiapkan uang juga. Kalau bisa uang dari rekeningku jangan keluar, tapi ada uang lain yang bisa menutupi angsuran kos. But, how?

Ah, aku ingat belum berganti pakaian. Aku membersihkan kosmetik dan berganti pakaian. Perutku keroncongan, tapi tidak ada makanan di kamarku. Seperti kehidupan penuh berkah di buku motivasi, saat itu pula aku mencium aroma mie instant menguar dari dapur di bawah tangga.


makanan cepat saji
Mie sebagai makanan cepat saji [Photo: Pexels]


Aku keluar kamar dan mengintip ke bawah dari lantai atas. Posisi kamarku di samping tangga memang leluasa untukku mengintip. Sepertinya Via dan aku langsung menyapanya, “Via, aku mau dong!”

Tidak ada yang menyahut. Perlahan tubuh yang aku lihat dari atas terlihat jelas beberapa detik. Kurus, putih, pucat, dan rambut ikal kemerahannya tampak begitu jelas. Jantungku berdegup kencang. Oh, Tuhan!

(*_*)

“Kita udah biasa lagi, Kak. Tengah malam ada yang masak mie instant. Pas turun ke bawah malah nggak ada orang. Sekarang kita yang pasti saja, kalau memang nggak jelas siapa yang masak, kita nggak lihat lagi ke bawah. Bikin horor aja. Ya, nggak, sih?” cerita Nova begitu mendengar ceritaku.

Yumna mengangguk, “aku malah pernah bertemu dengan orangnya lho, Kak. Wajahnya cantik banget. Putih dan hidungnya mancung.”

Via menopang dagu lama sambil menatapku. Aku jadi salah tingkah, tapi kemudian tegang begitu pertanyaannya dilontarkan, “Kak, itu Kak Mita bukan?”

Kami saling memandang satu sama lain. Seolah sepakat yang meneror kami saat perut lapar tengah malam adalah Kak Sushmita. Untunglah Desi sedang kuliah. Tidak bisa kubayangkan bagaimana sedihnya Desi mendengar kakaknya dituduh gentayangan.

“Orang baik nggak mungkin gentayangan lah, Via,” kataku menengahi. Begitu saja aku ingat sesuatu yang nggak ingin aku ungkapkan kepada mereka. Kak Sana membawa pulang sepasang sepatu Kak Mita saat kami takziah di hari meninggalnya.

Aku masih melihat darah di ujung sepatu yang dibawa pulang oleh Kak Sana. Lucunya Kak Sana tidak pernah memakai sepatu itu. Bahkan ketika keluar dari kos, Kak Sana tidak membawa sepatu yang katanya untuk memori baik yang akan disimpannya. Kenyataannya Kak Sana hanya menambah barang di kos kami saja.

Seluruh pakaian yang dipakai oleh Desi juga milik Kak Mita. Meskipun gaya berpakaian mereka berbeda, Desi pintar memadupadankan pakaian yang dia pakai. Hal yang aku suka dari penampilan Jane yang modis dan kreatif. Dia sangat stylish.

Nova menepuk kakiku, “Kak, tidak cuma orang jahat yang gentayangan. Ada berbagai alasan setan gentayangan menyerupai manusia yang sudah meninggalkan, Kak. Salah satunya karena masih banyak barang dia di sini.”

Kami semua terdiam. Bertepatan dengan diamnya kami. Dari teras lantai dua kami melihat Desi pulang diantar oleh Sunita, teman baik Desi yang selalu bersamanya. Keduanya sama cantiknya, sama baiknya, sama nasibnya.

Yumna mengalihkan percakapan tepat di saat kaki Desi menginjak lantai dua, “kapan Kak Naeva pindah kos?”

Aku tak suka topik ini, tapi tetap kujawab pertanyaan Yumna. “bulan depan. Masih ada waktu untuk mencari kos. Aku cuma bingung saja mau ngekos dimana. Di sini sudah paling strategis, sih.”

Via mengangguk-angguk setuju, “bagaimana kalau kakak lanjut S2 saja. Jadi kakak nggak ada alasan harus pindah.”

Aku mengangkat bahu, “bagaimana kalau bapak kos bilang kalau kos ini Cuma buat anak S1 saja?”

“Itu cuma alasan saja berarti. Sebenarnya bapak kos sudah nggak mau lihat Kak Naeva di sini,” sambar Nova tanpa berpikir panjang. Hatiku tergores, tapi membenarkan. Lantas muncul pertanyaan di kepalaku. Apa salahku?

Yumna menggeleng tak setuju, “apa alasannya coba kalau harus sedang kuliah? Malahan Kak Naeva sudah bekerja, lho. Kalau dinaikkan saja sedikit pasti Pak Kos dapat laba, kan? Aneh sekali peraturannya.” Yumna tersulut emosi. Ngomongnya mulai ngegas.

Via menetralisir emosi Yumna dengan sebuah informasi bermutu dari abangnya. “Ada perjanjian antara pemilik kos dengan yang mewakaf tanah di sini, Yum. Makanya di sini rumahnya setengah permanen saja. Kepemilikannya juga sementara. Daerah ini memang aslinya dibangun untuk mahasiswa, tapi boleh ditempati oleh keluarga untuk mengontrol anak kos di sini. Nggak ngerti juga detilnya. Abang aku yang paham betul. Mungkin ini pula alasan dia jadi mahasiswa abadi.”


kamar kos idaman
[Photo: Pexels]


Kami tertawa. Detik selanjutnya, orang yang sedang kami bicarakan berdehem. Sebuah kepala menyembul dari teras samping dan kami tertawa bersama. Apalagi saat momen Via langsung lari terbirit-birit ke kamarnya karena ketahuan mengatai abangnya mahasiswa abadi.

Aku pernah mendengar dari Via kalau ada larangan keras dan mereka sepakati dalam keluarga. Tidak boleh berbicara tentang status mahasiswa kedua abangnya di rumah. Siapa saja yang membahas tentang kemahasiswaan abangnya akan mendapat hukuman dan diberhentikan uang jajannya selama sebulan.

Melihat ekspresi Via tadi, aku langsung tahu kalau cerita Via dan Qinar tentang abang mereka bukan karangan saja. Anak kos yang sedang berkumpul di teras tertawa. Aku ikut tertawa dengan sudut hati yang nyeri. Aku akan kehilangan momen ini sebentar lagi. Segera.

(*_*)

Author’s Note

Halo, Teman Belajar!

Belakangan sejak episode pertama tayang di blog ini, berbagai macam pertanyaan muncul. Ada yang langsung nge-chat di Whatapp, ada pula yang bertanya di kolom komentar. Apalagi kalau bukan alasan kenapa yang ngekos nggak boleh bukan mahasiswa?

Seperti yang dijelaskan oleh Via, memang ada aturan yang menetapkan boleh tidaknya. Daerah ini dinomatkan Kota Pelajar Mahasiswa, tentu saja memang khusus untuk mereka. Sayangnya, untuk detilnya saya nggak begitu paham. Cuma mahasiswa lama yang tahu alasan detilnya. Informasi detil tidak diwariskan kepada kami.

Alasan Naeva berat pindah dari situ juga karena alasan biaya hidup dan akses, sih. Apalagi di kos sudah menemukan teman yang satu frekewensi rasa keluarga. Rasanya pasti berat banget, kan?

By the way, kalau kamu punya pengalaman hidup di kosan mirip kisahnya Naeva. Feel free to comment, ya.

Posting Komentar