Perhatian!
Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman
Belajar sudah membaca chapter Blue Window sebelumnya.
(*_*)
Aku
terbangun saat suasana kos sudah senyap. Tidak ada kehidupan yang bisa aku
rasakan di setiap kamar. Gampang bagiku untuk mendeteksi kehidupan. Hanya menempelkan
telinga di lantai kamar, seluruh kehidupan langsung masuk ke dalam memoriku.
Kalau
kalian berpikir aku punya pendengaran ultrasonik, itu sama sekali tidak
kumiliki. Bukan. Aku hanya terbiasa tidur di lantai kayu kamar kos saja. Aku bisa
merasakan langkah teman satu kos dan mengenali milik siapa. Aku juga bisa
membedakan posisi dimana langkah itu. Termasuk suara yang terdengar ke
kupingku. Lantai papan di kos ini seperti mengirimkan informasi melalui
serat-serat kayu yang semakin menua.
Ilustrasi Blue Window |
Hanya
ada dua orang penghuni kos yang memakai ranjang rendah di kos ini. Via punya
dua orang abang yang tinggal di kos sebelah. Sebagai anak perempuan yang
didampingi oleh dua orang abang di perantauan, dia mendapatkan fasilitas yang
direlakan oleh abangnya meski mereka harus beralas tikar tipis.
Satu
lagi yang memiliki ranjang di kos kami. Namanya Erika, mahasiswi kedokteran yang
sangat dimanja oleh keluarganya. Jangan pikir dia anak tunggal, dia punya dua
orang abang dan seoranga adik perempuan. Istimewanya dia karena cuma dia yang
kuliah. Kedokteran pula. Kata Yumna, dia anak yang cerdas. Juara umum tingkat
kabupaten dan tiada tandingan.
Kedua
anak kos ini lebih rajin di rumah daripada menghabiskan waktu di kampus. Bukan anak
organisasi lah. Sementara aku dan Erika, tipikal mahasiswa kura-kura. Kuliah rapat
dan terus begitu terus sampai iblis tobat dan sedekah. Ya, kami aktivis
mahasiswa. Nama kami hampir terdaftar di seluruh ormawa internal dan eksternal
kampus.
Malam
ini aku duduk merenung sambil menatap jam dinding yang menunjuk angka dua belas.
Kalau saja aku terlahir sebagai laki-laki, aku nggak perlu repot mencari kos
baru setelah anjuran pindah karena sudah selesai kuliah ini. Aku tinggal nomaden
saja ke sana dan kemari seperti anak organisasi lainnya. Gampang. Selesai.
Kenyataannya
aku masih di kamar kos ini dan melihat ke depan. Memikirkan kemana aku harus
pindah sementara waktu begitu cepat berlalu. Bukan itu saja, aku harus
menyiapkan uang juga. Kalau bisa uang dari rekeningku jangan keluar, tapi ada
uang lain yang bisa menutupi angsuran kos. But, how?
Ah,
aku ingat belum berganti pakaian. Aku membersihkan kosmetik dan berganti
pakaian. Perutku keroncongan, tapi tidak ada makanan di kamarku. Seperti kehidupan
penuh berkah di buku motivasi, saat itu pula aku mencium aroma mie instant
menguar dari dapur di bawah tangga.
Mie sebagai makanan cepat saji [Photo: Pexels] |
Aku
keluar kamar dan mengintip ke bawah dari lantai atas. Posisi kamarku di samping
tangga memang leluasa untukku mengintip. Sepertinya Via dan aku langsung menyapanya,
“Via, aku mau dong!”
Tidak
ada yang menyahut. Perlahan tubuh yang aku lihat dari atas terlihat jelas
beberapa detik. Kurus, putih, pucat, dan rambut ikal kemerahannya tampak begitu
jelas. Jantungku berdegup kencang. Oh, Tuhan!
(*_*)
“Kita
udah biasa lagi, Kak. Tengah malam ada yang masak mie instant. Pas turun ke bawah
malah nggak ada orang. Sekarang kita yang pasti saja, kalau memang nggak jelas
siapa yang masak, kita nggak lihat lagi ke bawah. Bikin horor aja. Ya, nggak,
sih?” cerita Nova begitu mendengar ceritaku.
Yumna
mengangguk, “aku malah pernah bertemu dengan orangnya lho, Kak. Wajahnya cantik
banget. Putih dan hidungnya mancung.”
Via
menopang dagu lama sambil menatapku. Aku jadi salah tingkah, tapi kemudian
tegang begitu pertanyaannya dilontarkan, “Kak, itu Kak Mita bukan?”
Kami
saling memandang satu sama lain. Seolah sepakat yang meneror kami saat perut
lapar tengah malam adalah Kak Sushmita. Untunglah Desi sedang kuliah. Tidak bisa
kubayangkan bagaimana sedihnya Desi mendengar kakaknya dituduh gentayangan.
“Orang
baik nggak mungkin gentayangan lah, Via,” kataku menengahi. Begitu saja aku
ingat sesuatu yang nggak ingin aku ungkapkan kepada mereka. Kak Sana membawa
pulang sepasang sepatu Kak Mita saat kami takziah di hari meninggalnya.
Aku
masih melihat darah di ujung sepatu yang dibawa pulang oleh Kak Sana. Lucunya Kak
Sana tidak pernah memakai sepatu itu. Bahkan ketika keluar dari kos, Kak Sana
tidak membawa sepatu yang katanya untuk memori baik yang akan disimpannya. Kenyataannya
Kak Sana hanya menambah barang di kos kami saja.
Seluruh
pakaian yang dipakai oleh Desi juga milik Kak Mita. Meskipun gaya berpakaian
mereka berbeda, Desi pintar memadupadankan pakaian yang dia pakai. Hal yang aku
suka dari penampilan Jane yang modis dan kreatif. Dia sangat stylish.
Nova
menepuk kakiku, “Kak, tidak cuma orang jahat yang gentayangan. Ada berbagai
alasan setan gentayangan menyerupai manusia yang sudah meninggalkan, Kak. Salah
satunya karena masih banyak barang dia di sini.”
Kami
semua terdiam. Bertepatan dengan diamnya kami. Dari teras lantai dua kami melihat
Desi pulang diantar oleh Sunita, teman baik Desi yang selalu bersamanya. Keduanya
sama cantiknya, sama baiknya, sama nasibnya.
Yumna
mengalihkan percakapan tepat di saat kaki Desi menginjak lantai dua, “kapan Kak
Naeva pindah kos?”
Aku
tak suka topik ini, tapi tetap kujawab pertanyaan Yumna. “bulan depan. Masih ada
waktu untuk mencari kos. Aku cuma bingung saja mau ngekos dimana. Di sini sudah
paling strategis, sih.”
Via
mengangguk-angguk setuju, “bagaimana kalau kakak lanjut S2 saja. Jadi kakak
nggak ada alasan harus pindah.”
Aku
mengangkat bahu, “bagaimana kalau bapak kos bilang kalau kos ini Cuma buat anak
S1 saja?”
“Itu
cuma alasan saja berarti. Sebenarnya bapak kos sudah nggak mau lihat Kak Naeva
di sini,” sambar Nova tanpa berpikir panjang. Hatiku tergores, tapi
membenarkan. Lantas muncul pertanyaan di kepalaku. Apa salahku?
Yumna
menggeleng tak setuju, “apa alasannya coba kalau harus sedang kuliah? Malahan Kak
Naeva sudah bekerja, lho. Kalau dinaikkan saja sedikit pasti Pak Kos dapat laba,
kan? Aneh sekali peraturannya.” Yumna tersulut emosi. Ngomongnya mulai ngegas.
Via
menetralisir emosi Yumna dengan sebuah informasi bermutu dari abangnya. “Ada
perjanjian antara pemilik kos dengan yang mewakaf tanah di sini, Yum. Makanya di
sini rumahnya setengah permanen saja. Kepemilikannya juga sementara. Daerah ini
memang aslinya dibangun untuk mahasiswa, tapi boleh ditempati oleh keluarga
untuk mengontrol anak kos di sini. Nggak ngerti juga detilnya. Abang aku yang
paham betul. Mungkin ini pula alasan dia jadi mahasiswa abadi.”
[Photo: Pexels] |
Kami
tertawa. Detik selanjutnya, orang yang sedang kami bicarakan berdehem. Sebuah kepala
menyembul dari teras samping dan kami tertawa bersama. Apalagi saat momen Via
langsung lari terbirit-birit ke kamarnya karena ketahuan mengatai abangnya
mahasiswa abadi.
Aku
pernah mendengar dari Via kalau ada larangan keras dan mereka sepakati dalam
keluarga. Tidak boleh berbicara tentang status mahasiswa kedua abangnya di
rumah. Siapa saja yang membahas tentang kemahasiswaan abangnya akan mendapat
hukuman dan diberhentikan uang jajannya selama sebulan.
Melihat
ekspresi Via tadi, aku langsung tahu kalau cerita Via dan Qinar tentang abang
mereka bukan karangan saja. Anak kos yang sedang berkumpul di teras tertawa. Aku
ikut tertawa dengan sudut hati yang nyeri. Aku akan kehilangan momen ini
sebentar lagi. Segera.
(*_*)
Author’s Note
Halo,
Teman Belajar!
Belakangan
sejak episode pertama tayang di blog ini, berbagai macam pertanyaan
muncul. Ada yang langsung nge-chat di Whatapp, ada pula yang bertanya di kolom
komentar. Apalagi kalau bukan alasan kenapa yang ngekos nggak boleh bukan
mahasiswa?
Seperti
yang dijelaskan oleh Via, memang ada aturan yang menetapkan boleh tidaknya. Daerah
ini dinomatkan Kota Pelajar Mahasiswa, tentu saja memang khusus untuk mereka. Sayangnya,
untuk detilnya saya nggak begitu paham. Cuma mahasiswa lama yang tahu alasan detilnya.
Informasi detil tidak diwariskan kepada kami.
Alasan
Naeva berat pindah dari situ juga karena alasan biaya hidup dan akses, sih. Apalagi
di kos sudah menemukan teman yang satu frekewensi rasa keluarga. Rasanya pasti
berat banget, kan?
By
the way, kalau kamu punya pengalaman hidup di kosan mirip kisahnya Naeva. Feel
free to comment, ya.
Posting Komentar