Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter Blue Window sebelumnya. Oh, iya, Blue Window merupakan sekuel dari kisah Aku dan Cerita dari Kamar ke Kamar.
(*_*)
“Kak
Naeva, semangat ya kerjanya,” sapa Nova dari kamar Via yang berhadapan dengan
kamarku. Aku sedang keluar dari kamar dan bersiap berangkat kerja. Meski bukan
hari pertama, di mata anak kos lainnya tetap terlihat seperti hari pertama
kerja.
Blue window |
“Kak
Naeva, nanti jadi kan cari kosnya?” tanya Via menimpali.
“Oh,
oke, Via.” Aku baru ingat malam kemarin sudah membuat janji dengan Via untuk
mencari kos di sekitar Kota Pelajar Mahasiswa alias Kopelma karena memang
strategis.
Aku
keluar melewati ruang tamu bapak dan ibu kos. Aku berpapasan dengan bapak kos
yang sudah memakai pakaian dinas PNS di Kementerian Agama. Sepertinya beliau
juga bersiap untuk berangkat kerja. Bapak kos hanya melihatku yang sudah
mengenakan pakaian semi formal dan memakai wedges senada dengan tas. Aku siap
berangkat kerja.
Dari
kos ke Simpang Galon, aku harus berjalan kaki. Jarak yang nggak dekat, sih. Bisa
apa lagi? Mak tidak mengizinkan aku membeli sepeda motor saat ini. Alasannya
berkaitan dengan etika sosial, meskipun kalau aku boleh katakan tidak ada yang
peduli itu.
Mak
mengingatkan, “apa kata orang kalau kamu baru selesai kuliah, dapat kerja, beli
sepeda motor. Pedih mata orang lihatnya.”
Maksud
Mak pedih mata itu adalah mata jahat yang tidak bisa melihat orang lain lebih
baik. Lebih maju. Mereka akan melakukan apapun cara untuk menggagalkannya. Semisal
dengan membuat sakit atau mendadak miskin. Ah, padahal aku juga nggak kaya,
kenapa harus khawatir.
Mak
terlalu khawatir. Alasannya karena aku di rantau orang. Meski berontak, aku
mengiyakan apa yang Mak katakan. Aku terpaksa berjalan kaki lumayan dari kos ke
jalan utama. Di sana aku menunggu labi-labi, sejenis angkutan umum
dengan kearifan lokal yang katanya cuma ada di Aceh. Terkadang aku lebih
memilih naik damri atau trans kutaraja karena lajunya lebih cepat.
Angkutan umum yang disebut labi-labi. [Photo: Search by Google] |
Aku
tidak tahu apa yang akan aku pilih hari ini. Aku sudah mengukur waktu, tetap
keluar rumah satu jam sebelum absen dimulai. Saat anak kos masih bersantai
dengan piyama celana pendek tipis di depan TV, aku sudah keluar kamar untuk
bekerja. Aku tiba di kantor tepat waktu. Terkadang lebih cepat, tapi itu lebih
baik daripada telat.
Beruntung
begitu aku tiba di Simpang Galon bus damri muncul. Aku langsung naik dan menikmati
perjalanan pagi yang sibuk menuju ke kantor. Aku tidak bekerja di kantor besar,
hanya di sebuah kantor kecil yang bergerak di bidang inovasi media. Bosnya muda
dan ganteng. Seorang bisnismen yang tak kenal lelah.
“Kapan
pindah?” sebuah suara terdengar di bangku belakangku. Tidak, pertanyaan itu
bukan untukku. Si penanya sedang berbincang dengan temannya.
“Bulan
depan sudah kosong kamar, Beb. Aku heran, deh, kenapa ibu kos suka sekali
mencari orang baru perdua tahun sekali. Sekayak nggak ada kerjaan gitu, Beb.” Kudengar
temannya merespon.
“Kamu
nggak tanya kenapa?”
“Pernah,
sih. Jawabannya bosan lihat muka itu terus. Absurd banget nggak, sih. Jawabannya
nggak logis.”
“Kamu
mau pindah kemana?”
“Masih
di Sektim juga. Sekitar empat rumah dari kos sekarang.”
“Lancar
Berkah Kos?”
“Iya.
Lumayan, lho. Sewanya sama, tapi tempatnya lebih bagus.”
Catat.
Lancar Berkah Kos. Sektim alias Sektor Timur.
(*_*)
Dibonceng
Via, kami langsung melaju ke Lancar Berkah Kos seperti yang aku dengar di bus
damri. Seperti yang dikatakan oleh calon penghuninya, kos ini memang lumayan. Letaknya
di lantai dua ruko kelontong. Nama tokonya juga Lancar Berkah. Kupikir aku akan
welcome di sini, ternyata kos ini dikuasai oleh mahasiswa asal selatan
Aceh. Bahkan pertanyaan pertama Ibu Kos adalah asal daerahku.
“Bukan
nggak boleh tinggal di sini, Dik Naeva. Saya hanya khawatir Dik Naeva ini tidak
bisa mengikuti budaya dan tradisi mereka. Apalagi Dik Naeva ini kan tidak bisa
bahasa Aneuk Jamee,” kata Ibu Kos Lancar Berkah kepadaku.
Padahal
justru aku excited karena ingin belajar bahasa Aneuk Jamee di kos itu. Ibu
Kos terlalu under estimated dengan kemampuanku menyerap bahasa. Aku ingin
tetap merayu, tapi Via memberi kode untuk keluar saat Ibu Kos menerima telepon.
“Kebetulan
sekali ini, Dik Naeva. Satu kamar kosong sudah langsung terisi ini, anak dari
Selatan juga,” kata Ibu Kos itu dengan wajah berbinar. Tak heran, rekeningnya
akan berdering beberapa saat lagi.
Aku
pamit setelah mengucapkan terima kasih. Via mengomel karena ucapan terima
kasihku menurutnya tidak bertempat. Ah, biasa sajalah. Terima kasih bisa
diucapkan untuk apa saja.
(*_*)
Seminggu
mengitari kopelma dengan Via, tidak ada satu pun kos yang berjodoh denganku. Ada
yang bagus, tapi tidak ada kosong. Ada yang kosong, tapi lingkungannya tidak
sehat.
Kopelma Darussalam sebagai gerbang dua kampus besar di Aceh. [Photo: Serambinews] |
Salah
satu sudut yang masih eksis dengan kos kumuh malah menunjukkan pemandangan yang
tak baik untuk mata. Kos cewek dan kos cowok berada berhadapan tanpa pengontrolan.
Saat kami memasuki area itu, ada rasa tak nyaman dan seperti diawasi.
Mataku
malah menangkap sepasang anak muda duduk berdempetan di ruang tamu yang terbuka
pintunya. Si lelaki bertelanjang dada, rambut kribonya belum disisir. Si perempuan
dengan genitnya merebahkan kepala di bahu kurus si lelaki. Sialnya, mataku
ternodai dengan pemandangan si lelaki mengecup kepala si perempuan.
Omaigot!
Tidak, ini bukan tempat yang cocok untuk aku tempati. Via langsung
mewanti-wanti agar aku tidak tergoda ke sana meskipun aku sudah tidak punya
tempat tinggal. Lebih baik aku tidur di emperan toko daripada ngekos di tempat
yang tidak jelas seperti itu. Kupikir Via cukup baik dan perhatian padaku.
Minggu
kedua Via mulai sibuk dengan final. Sebagai anak Teknik Kimia, dia memang
sedikit lebih berjuang daripada anak kos lain yang kuliah di FKIP. Adiknya menggantikan
peran Via mencarikan aku kos. Qinar membawaku agak jauh, keluar dari wilayah Kopelma.
Katanya, ini bagus untuk mengubah suasana hati.
Kami
masuk ke perumahan tipe 36 yang disewakan. Kami juga mencari komplek perumahan
bantuan yang juga disewakan oleh pemiliknya. Menurut Qinar, teman-temannya
banyak yang tinggal di sana.
Sebelum
berburu kamar, kami mencari informasi kepada teman Qinar yang sudah tinggal di
sana. Aku agak ciut mendengar informasi yang diberikan. Bukan kamar yang disewakan,
tapi rumah tipe 36. Harganya lumayan, dua setengah kali gajiku perbulan.
Rumahnya
tidak besar, kamar mandi di dalam, tersedia pula sumur di luar rumah. Tidak ada
dapur. Para anak kos menjadikan ruang tamu yang memanjang sebagai dapur. Ruang tamu
itu disekat dua dengan lemari. Bagian mepet ke kamar mandi dijadikan dapur. Bagian
ke arah pintu keluar dijadikan ruang tamu merangkat tempat meletakkan sepeda motor.
Satu
kamar ditempati dua sampai tiga orang. Mereka berbagi harga sewa dan kebanyakan
tinggal dengan teman sekampung asal. Ada pula yang tinggal dengan teman satu jurusan.
Suasana seperti ini sungguh bukan impianku. Kacau sekali.
Qinar
seperti tahu isi hatiku. Dia tidak membahas lagi soal kamar kos yang dia carikan
bersamaku. Aku kembali ke kos dengan putus asa. Kepalaku semakin berat mengingat
hari aku hengkang semakin dekat.
“Kak
Va, aku lihat ada kos di dekat sini. Lihat, yuk,” ajak Nova saat aku baru
menginjakkan kaki di lantai dua.
“Sekarang?”
aku kaget, tapi tawaran Nova agak langka.
“Iya,
Kak. Kita jalan kaki saja. Bagaimana?” tawarnya lagi. Aku langsung mengiyakan
tanpa berganti pakaian. Kebetulan hari Jumat pakaian kami tidak formal dan
sangat santai. Aku mirip seperti mahasiswa pada umumnya.
Benar
kata Nova, hanya berjalan kaki saja kami sudah tiba di kos tiga lantai dengan
pagar tinggi. Di halamannya berjajar mobil dengan berbagai merek dan warna. Di area
belakang sepeda motor juga berjajar.
Aku
tahu Nova mulai insekyur begitu memasuki kos itu, tapi aku tetap santai masuk
ke ruangan yang tertulis kata OFFICE. Camelia House, begitu nama kos ini. kos
elit untuk orang berduit. Pasti.
“Kos
ini memang cocok banget untuk yang sudah bekerja, Kakak. Kita mengutamakan
kenyamanan penghuninya. Sudah pasti aman dan tentram. Setiap lantai ada public
kitchen dan public toilet. Kali aja kakak nggak nyaman kalau
temannya pakai kamar mandi di kamar. Bisa pakai yang di luar,” jelas resepsionis
yang wajahnya cantik dan mulus seperti pekerja bank. Namanya Aurora, secantik
orangnya.
Aku
dan Nova saling melirik. Di tangan kami ada dua lembar brosur yang diberikan
oleh Aurora. Kami memutuskan menimbang-nimbang dulu sebelum memutuskan. Dari cara
Aurora menjelaskan dan memberikan brosur saja sudah kelihatan kalau kamar ini
mahal.
Dalam
perjalanan pulang aku lebih banyak diam. Sementara Nova sibuk melihat brosur full
colour dan dicetak lux. Nova memekik. Kupikir kenapa, ternyata dia terkejut
dengan harga kamar.
“Kak,
kamar VVIP di lantai harganya tiga juta perbulan. VIP di lantai dua dua juta. Kamar
standar di lantai tiga satu juta setengah perbulan. Fasilitas kamar standar ada
kipas angin kecil, lemari dua pintu, kasur tanpa ranjang, meja kecil, dan ukurannya
dua setengah kali dua setengah, Kak,” jelas Nova masih antara tatapan takjub
dan panik.
Aku
langsung melihat gambar. Omaigot pangkat dua. Ini memang bukan standar kos
untuk aku. Aku semakin hopeless.
(*_*)
Author’s Note
Halo,
Teman Belajar. Camilia House itu benar adanya, tapi namanya saja yang berbeda. Saya
lupa nama kosnya apa, tapi lumayan populer di kalangan anak kos dulu. Soalnya terkenal
sebagai kos elit dan mahal. Penghuninya juga bukan anak kuliahan biasa atau pekerja
biasa seperti saya. Sudah pasti penghuninya menghasilkan dua atau tiga kali
dari harga kamar lah, ya.
Nova ini anaknya ceplas ceplos. Dia sangat ekspresif dan kalau lagi kambuh lupa diri sedang dimana. Dia termasuk anak yang baik mau nemanin Naeva buat cari kos sampai pindahan, lho.
Menurut Teman Belajar, apa Naeva perlu tinggal di Camilia House sebelum sambil terus mencari informasi tentang kos yang sesuai kantong?
Posting Komentar