Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Blue Window (Ep. 5): Perburuan Kamar

Naeva sudah berusaha mencari kamar kos dengan beragam pilihan. Sayangnya, pilihan terakhir justru membuatnya semakin hopeless.

 Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter Blue Window sebelumnya. Oh, iya, Blue Window merupakan sekuel dari kisah Aku dan Cerita dari Kamar ke Kamar.

(*_*)

“Kak Naeva, semangat ya kerjanya,” sapa Nova dari kamar Via yang berhadapan dengan kamarku. Aku sedang keluar dari kamar dan bersiap berangkat kerja. Meski bukan hari pertama, di mata anak kos lainnya tetap terlihat seperti hari pertama kerja.


Novel Blue window
Blue window


“Kak Naeva, nanti jadi kan cari kosnya?” tanya Via menimpali.

“Oh, oke, Via.” Aku baru ingat malam kemarin sudah membuat janji dengan Via untuk mencari kos di sekitar Kota Pelajar Mahasiswa alias Kopelma karena memang strategis.

Aku keluar melewati ruang tamu bapak dan ibu kos. Aku berpapasan dengan bapak kos yang sudah memakai pakaian dinas PNS di Kementerian Agama. Sepertinya beliau juga bersiap untuk berangkat kerja. Bapak kos hanya melihatku yang sudah mengenakan pakaian semi formal dan memakai wedges senada dengan tas. Aku siap berangkat kerja.

Dari kos ke Simpang Galon, aku harus berjalan kaki. Jarak yang nggak dekat, sih. Bisa apa lagi? Mak tidak mengizinkan aku membeli sepeda motor saat ini. Alasannya berkaitan dengan etika sosial, meskipun kalau aku boleh katakan tidak ada yang peduli itu.

Mak mengingatkan, “apa kata orang kalau kamu baru selesai kuliah, dapat kerja, beli sepeda motor. Pedih mata orang lihatnya.”

Maksud Mak pedih mata itu adalah mata jahat yang tidak bisa melihat orang lain lebih baik. Lebih maju. Mereka akan melakukan apapun cara untuk menggagalkannya. Semisal dengan membuat sakit atau mendadak miskin. Ah, padahal aku juga nggak kaya, kenapa harus khawatir.

Mak terlalu khawatir. Alasannya karena aku di rantau orang. Meski berontak, aku mengiyakan apa yang Mak katakan. Aku terpaksa berjalan kaki lumayan dari kos ke jalan utama. Di sana aku menunggu labi-labi, sejenis angkutan umum dengan kearifan lokal yang katanya cuma ada di Aceh. Terkadang aku lebih memilih naik damri atau trans kutaraja karena lajunya lebih cepat.


transportasi lokal di Aceh
Angkutan umum yang disebut labi-labi. [Photo: Search by Google]

Aku tidak tahu apa yang akan aku pilih hari ini. Aku sudah mengukur waktu, tetap keluar rumah satu jam sebelum absen dimulai. Saat anak kos masih bersantai dengan piyama celana pendek tipis di depan TV, aku sudah keluar kamar untuk bekerja. Aku tiba di kantor tepat waktu. Terkadang lebih cepat, tapi itu lebih baik daripada telat.

Beruntung begitu aku tiba di Simpang Galon bus damri muncul. Aku langsung naik dan menikmati perjalanan pagi yang sibuk menuju ke kantor. Aku tidak bekerja di kantor besar, hanya di sebuah kantor kecil yang bergerak di bidang inovasi media. Bosnya muda dan ganteng. Seorang bisnismen yang tak kenal lelah.

“Kapan pindah?” sebuah suara terdengar di bangku belakangku. Tidak, pertanyaan itu bukan untukku. Si penanya sedang berbincang dengan temannya.

“Bulan depan sudah kosong kamar, Beb. Aku heran, deh, kenapa ibu kos suka sekali mencari orang baru perdua tahun sekali. Sekayak nggak ada kerjaan gitu, Beb.” Kudengar temannya merespon.

“Kamu nggak tanya kenapa?”

“Pernah, sih. Jawabannya bosan lihat muka itu terus. Absurd banget nggak, sih. Jawabannya nggak logis.”

“Kamu mau pindah kemana?”

“Masih di Sektim juga. Sekitar empat rumah dari kos sekarang.”

“Lancar Berkah Kos?”

“Iya. Lumayan, lho. Sewanya sama, tapi tempatnya lebih bagus.”

Catat. Lancar Berkah Kos. Sektim alias Sektor Timur.

(*_*)

Dibonceng Via, kami langsung melaju ke Lancar Berkah Kos seperti yang aku dengar di bus damri. Seperti yang dikatakan oleh calon penghuninya, kos ini memang lumayan. Letaknya di lantai dua ruko kelontong. Nama tokonya juga Lancar Berkah. Kupikir aku akan welcome di sini, ternyata kos ini dikuasai oleh mahasiswa asal selatan Aceh. Bahkan pertanyaan pertama Ibu Kos adalah asal daerahku.

“Bukan nggak boleh tinggal di sini, Dik Naeva. Saya hanya khawatir Dik Naeva ini tidak bisa mengikuti budaya dan tradisi mereka. Apalagi Dik Naeva ini kan tidak bisa bahasa Aneuk Jamee,” kata Ibu Kos Lancar Berkah kepadaku.

Padahal justru aku excited karena ingin belajar bahasa Aneuk Jamee di kos itu. Ibu Kos terlalu under estimated dengan kemampuanku menyerap bahasa. Aku ingin tetap merayu, tapi Via memberi kode untuk keluar saat Ibu Kos menerima telepon.

“Kebetulan sekali ini, Dik Naeva. Satu kamar kosong sudah langsung terisi ini, anak dari Selatan juga,” kata Ibu Kos itu dengan wajah berbinar. Tak heran, rekeningnya akan berdering beberapa saat lagi.

Aku pamit setelah mengucapkan terima kasih. Via mengomel karena ucapan terima kasihku menurutnya tidak bertempat. Ah, biasa sajalah. Terima kasih bisa diucapkan untuk apa saja.

(*_*)

Seminggu mengitari kopelma dengan Via, tidak ada satu pun kos yang berjodoh denganku. Ada yang bagus, tapi tidak ada kosong. Ada yang kosong, tapi lingkungannya tidak sehat.


kopelma darussalam
Kopelma Darussalam sebagai gerbang dua kampus besar di Aceh. [Photo: Serambinews]

Salah satu sudut yang masih eksis dengan kos kumuh malah menunjukkan pemandangan yang tak baik untuk mata. Kos cewek dan kos cowok berada berhadapan tanpa pengontrolan. Saat kami memasuki area itu, ada rasa tak nyaman dan seperti diawasi.

Mataku malah menangkap sepasang anak muda duduk berdempetan di ruang tamu yang terbuka pintunya. Si lelaki bertelanjang dada, rambut kribonya belum disisir. Si perempuan dengan genitnya merebahkan kepala di bahu kurus si lelaki. Sialnya, mataku ternodai dengan pemandangan si lelaki mengecup kepala si perempuan.

Omaigot! Tidak, ini bukan tempat yang cocok untuk aku tempati. Via langsung mewanti-wanti agar aku tidak tergoda ke sana meskipun aku sudah tidak punya tempat tinggal. Lebih baik aku tidur di emperan toko daripada ngekos di tempat yang tidak jelas seperti itu. Kupikir Via cukup baik dan perhatian padaku.

Minggu kedua Via mulai sibuk dengan final. Sebagai anak Teknik Kimia, dia memang sedikit lebih berjuang daripada anak kos lain yang kuliah di FKIP. Adiknya menggantikan peran Via mencarikan aku kos. Qinar membawaku agak jauh, keluar dari wilayah Kopelma. Katanya, ini bagus untuk mengubah suasana hati.

Kami masuk ke perumahan tipe 36 yang disewakan. Kami juga mencari komplek perumahan bantuan yang juga disewakan oleh pemiliknya. Menurut Qinar, teman-temannya banyak yang tinggal di sana.

Sebelum berburu kamar, kami mencari informasi kepada teman Qinar yang sudah tinggal di sana. Aku agak ciut mendengar informasi yang diberikan. Bukan kamar yang disewakan, tapi rumah tipe 36. Harganya lumayan, dua setengah kali gajiku perbulan.

Rumahnya tidak besar, kamar mandi di dalam, tersedia pula sumur di luar rumah. Tidak ada dapur. Para anak kos menjadikan ruang tamu yang memanjang sebagai dapur. Ruang tamu itu disekat dua dengan lemari. Bagian mepet ke kamar mandi dijadikan dapur. Bagian ke arah pintu keluar dijadikan ruang tamu merangkat tempat meletakkan sepeda motor.

Satu kamar ditempati dua sampai tiga orang. Mereka berbagi harga sewa dan kebanyakan tinggal dengan teman sekampung asal. Ada pula yang tinggal dengan teman satu jurusan. Suasana seperti ini sungguh bukan impianku. Kacau sekali.

Qinar seperti tahu isi hatiku. Dia tidak membahas lagi soal kamar kos yang dia carikan bersamaku. Aku kembali ke kos dengan putus asa. Kepalaku semakin berat mengingat hari aku hengkang semakin dekat.

“Kak Va, aku lihat ada kos di dekat sini. Lihat, yuk,” ajak Nova saat aku baru menginjakkan kaki di lantai dua.

“Sekarang?” aku kaget, tapi tawaran Nova agak langka.

“Iya, Kak. Kita jalan kaki saja. Bagaimana?” tawarnya lagi. Aku langsung mengiyakan tanpa berganti pakaian. Kebetulan hari Jumat pakaian kami tidak formal dan sangat santai. Aku mirip seperti mahasiswa pada umumnya.

Benar kata Nova, hanya berjalan kaki saja kami sudah tiba di kos tiga lantai dengan pagar tinggi. Di halamannya berjajar mobil dengan berbagai merek dan warna. Di area belakang sepeda motor juga berjajar.

Aku tahu Nova mulai insekyur begitu memasuki kos itu, tapi aku tetap santai masuk ke ruangan yang tertulis kata OFFICE. Camelia House, begitu nama kos ini. kos elit untuk orang berduit. Pasti.

“Kos ini memang cocok banget untuk yang sudah bekerja, Kakak. Kita mengutamakan kenyamanan penghuninya. Sudah pasti aman dan tentram. Setiap lantai ada public kitchen dan public toilet. Kali aja kakak nggak nyaman kalau temannya pakai kamar mandi di kamar. Bisa pakai yang di luar,” jelas resepsionis yang wajahnya cantik dan mulus seperti pekerja bank. Namanya Aurora, secantik orangnya.

Aku dan Nova saling melirik. Di tangan kami ada dua lembar brosur yang diberikan oleh Aurora. Kami memutuskan menimbang-nimbang dulu sebelum memutuskan. Dari cara Aurora menjelaskan dan memberikan brosur saja sudah kelihatan kalau kamar ini mahal.

Dalam perjalanan pulang aku lebih banyak diam. Sementara Nova sibuk melihat brosur full colour dan dicetak lux. Nova memekik. Kupikir kenapa, ternyata dia terkejut dengan harga kamar.

“Kak, kamar VVIP di lantai harganya tiga juta perbulan. VIP di lantai dua dua juta. Kamar standar di lantai tiga satu juta setengah perbulan. Fasilitas kamar standar ada kipas angin kecil, lemari dua pintu, kasur tanpa ranjang, meja kecil, dan ukurannya dua setengah kali dua setengah, Kak,” jelas Nova masih antara tatapan takjub dan panik.

Aku langsung melihat gambar. Omaigot pangkat dua. Ini memang bukan standar kos untuk aku. Aku semakin hopeless.

(*_*)

Author’s Note

Halo, Teman Belajar. Camilia House itu benar adanya, tapi namanya saja yang berbeda. Saya lupa nama kosnya apa, tapi lumayan populer di kalangan anak kos dulu. Soalnya terkenal sebagai kos elit dan mahal. Penghuninya juga bukan anak kuliahan biasa atau pekerja biasa seperti saya. Sudah pasti penghuninya menghasilkan dua atau tiga kali dari harga kamar lah, ya.

Nova ini anaknya ceplas ceplos. Dia sangat ekspresif dan kalau lagi kambuh lupa diri sedang dimana. Dia termasuk anak yang baik mau nemanin Naeva buat cari kos sampai pindahan, lho.

Menurut Teman Belajar, apa Naeva perlu tinggal di Camilia House sebelum sambil terus mencari informasi tentang kos yang sesuai kantong?

Posting Komentar