Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter sebelumnya: Malam Tak Tenang.
(*_*)
AKU bangun saat azan
Subuh berkumandang. Sudah menjadi kebiasaan memang terbangun ketika azan Subuh.
Azan menjadi alarm bertahun-tahun lamanya. Jauh sebelum tinggal di indekos.
Aku
lupa jam berapa tertidur setelah mendengar penghuni kos lain duduk di teras.
Tentu saja satu-satunya yang menjelaskan aku tidak cukup tidur adalah rasa
kantuk yang menggelayut di mata. Akan tetapi aku tidak bisa mengikuti hasrat
ingin bobok yang menggoda. Selain menjadi kebiasaan nantinya, aku tidak mau
terlambat menghadiri yudisium.
Ilustrasi cover Blue Window [Photo: Dokumentasi Pribadi] |
Sesuai
janji dengan Desi, kami akan memulai eksekusi wajahku setelah Subuh. Segera
mandi dan mendirikan shalat Subuh.
"Kak
Naeva, sudah siap?" suara Desi terdengar di luar tepat saat aku
menyelesaikan shalat.
Kulipat
mukena cepat-cepat sambil menjawab, "sudah. Sebentar ya, Des."
Kuambil
baju kebaya putih dari bahan renda dengan sulaman emas. Furingnya dari bahan
rosella berwarna putih. Sedangkan kerudungnya sudah ditetapkan harus berwarna
putih.
Aku
masuk ke kamar Desi takut-takut. Ini heavy make up pertamaku. Pertama kali
dalam hidup aku didandani dan bersentuhan dengan benda selain bedak tabur,
pelembab, dan lipgloss di area wajah. Entah bagaimana hasilnya, aku
sangat ketakutan.
Semua
alat make up milik Desi. Sesekali dia memang menerima jasa make over untuk
wisuda, karnaval, dan tim tari di pesta perkawinan. Harusnya kemampuannya tidak
perlu diragukan lagi. Aku meragukan diriku sendiri.
"Mau
pakai cermin, Kak Va?" tanya Desi melihatku yang sedikit tegang. Aku
menggeleng. Biarlah hasilnya kejutan. Aku berdoa agar hasilnya super paten.
Beberapa
menit berlangsung. Kupikir make up ini tidak menghabiskan banyak waktu.
Ternyata sangat makan waktu. Sepertinya sudah keputusan yang tepat aku tidak
suka menghabiskan waktu di depan cermin. Aku lebih suka menghabiskan waktu di
depan laptop. Sekedar menulis curhatan menjadi cerita pendek atau menonton film
bajakan kopian dari teman.
Satu
persatu anak kos keluar masuk ke kamar. Mereka melihat cara kerja Desi dan
memantau proses transformasi diriku. Beberapa pesan dan telepon masuk aku
abaikan. Tidak peduli seberapa penting itu. Kata Desi, gerakan yang berlebihan
akan mengubah hasil dari ekspektasi. Aku memilih tidak bergerak.
"Sudah,
Kak." Kata Desi. Dia menggiringku ke depan cermin. Aku sangat terkejut.
Shock. Tidak tahu harus berkata apa.
Aku
tidak percaya ini diriku. Ini di luar ekspekstasiku. Aku jadi terlihat seperti
separuh Bunga Citra Lestari dan Agnes Monica. Kalau boleh jujur, aku sangat
cantik. Skill Desi wajib aku acungi jempol. Puas sekali. Terlebih lagi, ini
gratis. GRA-TIS!
Pukul
setengah delapan pagi aku dijemput oleh Altair, temanku di KSR PMI. Dia
membawaku ke kampus untuk mengikuti yudisium. Jarak dari kampus ke kos memang
tidak jauh. Sehari-hari bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi di era semua
orang bermotor ria memang agak aneh kalau berjalan kaki. Terlihat menyedihkan.
Yudisium merupakan syarat wisuda [Photo: Pexels] |
Aku
tidak peduli. Jepang sebagai negara panutanku tidak melihat orang berjalan kaki
sebagai orang susah. Banyak professor, orang kaya, bahkan orang yang usianya
mencapai ratusan tahun hidup dengan berjalan kaki. Aku berpedoman pada Jepang.
Apapun cemoohan orang.
Hari
ini lain. Aku tidak mungkin berjalan kaki ke kampus dengan pakaian dan dandanan
seperti ini. Bisa-bisa sebelum tiba ke kampus, heels seratus ribuku langsung
masuk tong sampah. Aku harus mempertahankan heels ini setidaknya sampai wisuda
nanti.
"Makasih,
Kak," kataku pada Altair yang seperti tersihir dengan penampilan baruku.
Dia mengangguk saja. Lalu berlalu ke arah lain kampus. Sepertinya ngopi pagi
bersama sesama relawan lain yang lebih senior.
Aku
masuk ke gedung biro, naik ke aula di lantai tiga. Belum banyak peserta
yudisium di sana. Amel juga belum terlihat. Satu jam kemudian baru satu persatu
kursi terisi. Aku bisa melihat perbedaan teman-teman perempuanku. Mereka
terlihat berbeda dengan sentuhan make up.
Semua
terlihat cantik sekali. Tidak ketinggalan teman-teman yang selama ini terlihat
bersahaja dengan wajah tanpa produk kimia apapun. Mereka juga touch make up on.
Keputusan yang tepat untukku memoleskan make up di hari yudisium. Padahal
awalnya aku ingin tampil apa adanya. Untunglah anak-anak kos melarang dengan
segala argumen mereka.
Acara
dimulai pukul sembilan pagi. Sebelum dimulai, kami berbincang rencana setelah
wisuda. Amel paling semangat menceritakan mimpinya kuliah S2 di luar negeri.
Sejak dulu dia memang memiliki impian kuliah di luar negeri. Salah satu negara
di Eropa. Aku mendengar setia, aku juga memiliki mimpi yang sama. Somewhere in
the world, tapi Jepang adalah negara yang paling ingin aku datangi.
"Nggak
sabaran terima ijazah, ya. Mau segera melamar kerja. Cari kerja zaman sekarang
susah, lho, Va." Merry berkata padaku.
Aku
mengangguk tanpa mengatakan aku sudah mendapatkan pekerjaan. Takut dinilai
sombong. Amel juga berkata hal yang sama, dia ingin bekerja di perusahaan asing
atau lembaga yang bisa menggaji tinggi.
"Biaya
SPP kita selama kuliah sudah mahal. Setidaknya dalam dua tahun kita sudah harus
bisa mengembalikan modal kuliah," celetuk Nurul. Orientasinya bisnis dan
setiap omongannya selalu berpotensi modal.
"Iya,
juga ya. Berarti kalau masih ngekos, kalian harus pikirkan angka yang
dikeluarkan lebih besar daripada kami yang nggak ngekos," tambah Amel. Aku
kembali mengangguk-angguk saja.
Otak
matematika sederhanaku mulai bekerja. Mengalkulasi berapa banyak uang yang
harus aku kumpulkan selama dua tahun. Sepertinya aku tidak bisa mengembalikan
jumlah yang sudah aku keluarkan selama dua tahun. Aku punya catatan pengeluaran
selama lima tahun kuliah. Bukannya pelit atau punya manajemen keuangan yang
baik. Aku membiayai kuliahku sendiri. Sesekali orangtua mengirim dan aku tidak
menolak.
"Wah,
bahaya sekali untuk Naeva. Biaya kuliahnya mahal sekali, kawan-kawan. Modal dia
menulis skripsi juga tinggi, lho. Berapa, Va? Dua unit sepeda motor, ya?"
Amel menepuk-nepuk pundakku.
Aku
hampir tersedak. Sejujurnya aku paling tidak suka membahas soal uang menguang.
Sensitif. Apalagi cara Amel mengatakan seperti menyimpan nada ejekan. Menyesal
sekali aku menceritakan tentang biaya yang aku keluarkan untuk skripsi padanya.
Pagi
ini harusnya akan menjadi pagi yang menakjubkan. Apalagi setelahnya acara
dimulai dan aku dipanggil ke depan. Aku mendapat IPK tertinggi kedua setelah
Nurul. IPK Nurul 3,75 dan aku 3,63. Ah, seandainya saja aku tidak pindah prodi
pada semester lima silam. Tentu aku bisa mencapai IPK sempurna.
Tidak
ada yang perlu disesali. Bekerja tidak melulu tergantung pada IPK. Banyak
lulusan dengan IPK tinggi pengangguran. Kuharap aku tidak menjadi salah satu di
antaranya.
"Va,
foto, yuk!" ajak teman-teman sekelasku yang sudah rapi dan siap dengan
kamera DSLRnya. Aku merengsek ke depan melewati teman-temanku. Suasana hatiku
masih bagus meski terngiang terus denggan kata-kata Amel.
Nilai A impian semua mahasiswa [Photo: Search by Googgle] |
"Selamat,
ya, Va. Hard work will pay off. Nilai A untuk skripsi itu sangat worth
it dengan prestasi akademik kamu. Terbaik kedua, wow! Proud of you,"
kata Oji tenang. Senyumnya tidak lepas. Wajahnya yang mirip Dwi Andhika semakin
terlihat imut.
"What?
A?" Aku terkejut. Kulirik transkrip nilai
sementara yang diberikan oleh akademik.
Benar.
Aku tidak mendengar MC membacakan nilai skripsiku A tadi. Pikiranku terlalu
disibukkan dengan dua unit sepeda motor yang aku habiskan untuk skripsi.
(*_*)
Author’s Note
Halo,
Teman Belajar!
Apakah
kamu pernah merasakan apa yang Naeva rasakan? Berada di depan banyak yudisiawan
dan yudusiawati, tetapi menyesali keputusan di masa lalu?
Sebenarnya di usia Naeva yang belum seperempat abad, perasaan itu sangat normal dan wajar sekali. Apalagi jika berkaitan dengan masa depan. Rasanya kok semua yang dilakukan salah di masa lalu. Namun tidak ada yang perlu disesali jika sudah terjadi. Sebaliknya, jadikan itu pelajaran hidup. Jangan ulangi di masa yang akan datang.
Setiap manusia itu sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Bukan berarti Nurul mendapat nilai tertinggi sudah menukar rezeki Naeva, ya. Itu perasaan Naeva saja. Siapa yang tahu di masa yang akan datang justru Naeva malah mendapatkan something wonderful.
Posting Komentar