Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Blue Window (Ep. 2): Pagi yang Menakjubkan

Jepang sebagai negara panutanku tidak melihat orang berjalan kaki sebagai orang susah. Banyak professor, orang kaya, dan orang tua berjalan kaki.

 Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter sebelumnya: Malam Tak Tenang.

(*_*)

AKU bangun saat azan Subuh berkumandang. Sudah menjadi kebiasaan memang terbangun ketika azan Subuh. Azan menjadi alarm bertahun-tahun lamanya. Jauh sebelum tinggal di indekos.

Aku lupa jam berapa tertidur setelah mendengar penghuni kos lain duduk di teras. Tentu saja satu-satunya yang menjelaskan aku tidak cukup tidur adalah rasa kantuk yang menggelayut di mata. Akan tetapi aku tidak bisa mengikuti hasrat ingin bobok yang menggoda. Selain menjadi kebiasaan nantinya, aku tidak mau terlambat menghadiri yudisium.


Cerbung Ulfa Khairina
Ilustrasi cover Blue Window
[Photo: Dokumentasi Pribadi]


Sesuai janji dengan Desi, kami akan memulai eksekusi wajahku setelah Subuh. Segera mandi dan mendirikan shalat Subuh.

"Kak Naeva, sudah siap?" suara Desi terdengar di luar tepat saat aku menyelesaikan shalat.

Kulipat mukena cepat-cepat sambil menjawab, "sudah. Sebentar ya, Des."

Kuambil baju kebaya putih dari bahan renda dengan sulaman emas. Furingnya dari bahan rosella berwarna putih. Sedangkan kerudungnya sudah ditetapkan harus berwarna putih.

Aku masuk ke kamar Desi takut-takut. Ini heavy make up pertamaku. Pertama kali dalam hidup aku didandani dan bersentuhan dengan benda selain bedak tabur, pelembab, dan lipgloss  di area wajah. Entah bagaimana hasilnya, aku sangat ketakutan.

Semua alat make up milik Desi. Sesekali dia memang menerima jasa make over untuk wisuda, karnaval, dan tim tari di pesta perkawinan. Harusnya kemampuannya tidak perlu diragukan lagi. Aku meragukan diriku sendiri.

"Mau pakai cermin, Kak Va?" tanya Desi melihatku yang sedikit tegang. Aku menggeleng. Biarlah hasilnya kejutan. Aku berdoa agar hasilnya super paten.

Beberapa menit berlangsung. Kupikir make up ini tidak menghabiskan banyak waktu. Ternyata sangat makan waktu. Sepertinya sudah keputusan yang tepat aku tidak suka menghabiskan waktu di depan cermin. Aku lebih suka menghabiskan waktu di depan laptop. Sekedar menulis curhatan menjadi cerita pendek atau menonton film bajakan kopian dari teman.

Satu persatu anak kos keluar masuk ke kamar. Mereka melihat cara kerja Desi dan memantau proses transformasi diriku. Beberapa pesan dan telepon masuk aku abaikan. Tidak peduli seberapa penting itu. Kata Desi, gerakan yang berlebihan akan mengubah hasil dari ekspektasi. Aku memilih tidak bergerak.

"Sudah, Kak." Kata Desi. Dia menggiringku ke depan cermin. Aku sangat terkejut. Shock. Tidak tahu harus berkata apa.

Aku tidak percaya ini diriku. Ini di luar ekspekstasiku. Aku jadi terlihat seperti separuh Bunga Citra Lestari dan Agnes Monica. Kalau boleh jujur, aku sangat cantik. Skill Desi wajib aku acungi jempol. Puas sekali. Terlebih lagi, ini gratis. GRA-TIS!

Pukul setengah delapan pagi aku dijemput oleh Altair, temanku di KSR PMI. Dia membawaku ke kampus untuk mengikuti yudisium. Jarak dari kampus ke kos memang tidak jauh. Sehari-hari bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi di era semua orang bermotor ria memang agak aneh kalau berjalan kaki. Terlihat menyedihkan.


Novel Ulfa Khairina
Yudisium merupakan syarat wisuda
[Photo: Pexels]

Aku tidak peduli. Jepang sebagai negara panutanku tidak melihat orang berjalan kaki sebagai orang susah. Banyak professor, orang kaya, bahkan orang yang usianya mencapai ratusan tahun hidup dengan berjalan kaki. Aku berpedoman pada Jepang. Apapun cemoohan orang.

Hari ini lain. Aku tidak mungkin berjalan kaki ke kampus dengan pakaian dan dandanan seperti ini. Bisa-bisa sebelum tiba ke kampus, heels seratus ribuku langsung masuk tong sampah. Aku harus mempertahankan heels ini setidaknya sampai wisuda nanti.

"Makasih, Kak," kataku pada Altair yang seperti tersihir dengan penampilan baruku. Dia mengangguk saja. Lalu berlalu ke arah lain kampus. Sepertinya ngopi pagi bersama sesama relawan lain yang lebih senior.

Aku masuk ke gedung biro, naik ke aula di lantai tiga. Belum banyak peserta yudisium di sana. Amel juga belum terlihat. Satu jam kemudian baru satu persatu kursi  terisi. Aku bisa melihat perbedaan teman-teman perempuanku. Mereka terlihat berbeda dengan sentuhan make up.

Semua terlihat cantik sekali. Tidak ketinggalan teman-teman yang selama ini terlihat bersahaja dengan wajah tanpa produk kimia apapun. Mereka juga touch make up on. Keputusan yang tepat untukku memoleskan make up di hari yudisium. Padahal awalnya aku ingin tampil apa adanya. Untunglah anak-anak kos melarang dengan segala argumen mereka.

Acara dimulai pukul sembilan pagi. Sebelum dimulai, kami berbincang rencana setelah wisuda. Amel paling semangat menceritakan mimpinya kuliah S2 di luar negeri. Sejak dulu dia memang memiliki impian kuliah di luar negeri. Salah satu negara di Eropa. Aku mendengar setia, aku juga memiliki mimpi yang sama. Somewhere in the world, tapi Jepang adalah negara yang paling ingin aku datangi.

"Nggak sabaran terima ijazah, ya. Mau segera melamar kerja. Cari kerja zaman sekarang susah, lho, Va."  Merry berkata padaku.

Aku mengangguk tanpa mengatakan aku sudah mendapatkan pekerjaan. Takut dinilai sombong. Amel juga berkata hal yang sama, dia ingin bekerja di perusahaan asing atau lembaga yang bisa menggaji tinggi.

"Biaya SPP kita selama kuliah sudah mahal. Setidaknya dalam dua tahun kita sudah harus bisa mengembalikan modal kuliah," celetuk Nurul. Orientasinya bisnis dan setiap omongannya selalu berpotensi modal.

"Iya, juga ya. Berarti kalau masih ngekos, kalian harus pikirkan angka yang dikeluarkan lebih besar daripada kami yang nggak ngekos," tambah Amel. Aku kembali mengangguk-angguk saja.

Otak matematika sederhanaku mulai bekerja. Mengalkulasi berapa banyak uang yang harus aku kumpulkan selama dua tahun. Sepertinya aku tidak bisa mengembalikan jumlah yang sudah aku keluarkan selama dua tahun. Aku punya catatan pengeluaran selama lima tahun kuliah. Bukannya pelit atau punya manajemen keuangan yang baik. Aku membiayai kuliahku sendiri. Sesekali orangtua mengirim dan aku tidak menolak.

"Wah, bahaya sekali untuk Naeva. Biaya kuliahnya mahal sekali, kawan-kawan. Modal dia menulis skripsi juga tinggi, lho. Berapa, Va? Dua unit sepeda motor, ya?" Amel menepuk-nepuk pundakku.

Aku hampir tersedak. Sejujurnya aku paling tidak suka membahas soal uang menguang. Sensitif. Apalagi cara Amel mengatakan seperti menyimpan nada ejekan. Menyesal sekali aku menceritakan tentang biaya yang aku keluarkan untuk skripsi padanya.

Pagi ini harusnya akan menjadi pagi yang menakjubkan. Apalagi setelahnya acara dimulai dan aku dipanggil ke depan. Aku mendapat IPK tertinggi kedua setelah Nurul. IPK Nurul 3,75 dan aku 3,63. Ah, seandainya saja aku tidak pindah prodi pada semester lima silam. Tentu aku bisa mencapai IPK sempurna.

Tidak ada yang perlu disesali. Bekerja tidak melulu tergantung pada IPK. Banyak lulusan dengan IPK tinggi pengangguran. Kuharap aku tidak menjadi salah satu di antaranya.

"Va, foto, yuk!" ajak teman-teman sekelasku yang sudah rapi dan siap dengan kamera DSLRnya. Aku merengsek ke depan melewati teman-temanku. Suasana hatiku masih bagus meski terngiang terus denggan kata-kata Amel.


Cerpen Ulfa Khairina
Nilai A impian semua mahasiswa
[Photo: Search by Googgle]

"Selamat, ya, Va. Hard work will pay off. Nilai A untuk skripsi itu sangat worth it dengan prestasi akademik kamu. Terbaik kedua, wow! Proud of you," kata Oji tenang. Senyumnya tidak lepas. Wajahnya yang mirip Dwi Andhika semakin terlihat imut.

"What? A?" Aku terkejut. Kulirik transkrip nilai sementara yang diberikan oleh akademik.

Benar. Aku tidak mendengar MC membacakan nilai skripsiku A tadi. Pikiranku terlalu disibukkan dengan dua unit sepeda motor yang aku habiskan untuk skripsi.

(*_*)

Author’s Note

Halo, Teman Belajar!

Apakah kamu pernah merasakan apa yang Naeva rasakan? Berada di depan banyak yudisiawan dan yudusiawati, tetapi menyesali keputusan di masa lalu?

Sebenarnya di usia Naeva yang belum seperempat abad, perasaan itu sangat normal dan wajar sekali. Apalagi jika berkaitan dengan masa depan. Rasanya kok semua yang dilakukan salah di masa lalu. Namun tidak ada yang perlu disesali jika sudah terjadi. Sebaliknya, jadikan itu pelajaran hidup. Jangan ulangi di masa yang akan datang.

Setiap manusia itu sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Bukan berarti Nurul mendapat nilai tertinggi sudah menukar rezeki Naeva, ya. Itu perasaan Naeva saja. Siapa yang tahu di masa yang akan datang justru Naeva malah mendapatkan something wonderful.

Posting Komentar