Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Blue Window (Ep. 3): Rencana Besar

Aku tidak suka saat Nurul mulai menelepon. Dia sengaja memancing suasana agar terlihat beruntung. Di sana, kulihat Amel paling bahagia dengan air mata

 Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter Blue Window sebelumnya.

(*_*)

Mereka sudah mempersiapkannya. Sebuah hajatan besar seperti yang umumnya terjadi setiap perayaan kelulusan. Yudisium yang menyenangkan tanpa peduli isi dompet. Mereka membuat aturan, aku hanya mengikuti saja.

Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan apa yang mereka tawarkan. Aku sudah tidak fokus saat temanku mengatakan mengundang minimal lima orang teman, jika lebih boleh. Tapi tidak termasuk dalam paket makan-makan yang disediakan itu.


Blue Window
Blue Window [Photo: Dokumen Pribadi]

Aku mengundang teman sekampus yang tidak bisa aku katakan sedikit. Aku bergabung di banyak organisasi, akhirnya aku memilih teman kampus saja. Teman kampus dalam arti sebenarnya, tidak bertemu lagi di organisasi manapun. Untuk pertama kali dalam hidup, aku menyesal punya teman banyak.

Setelah traktir teman kampus, akan ada episode traktir teman organisasi, paguyuban, sanggar, anak kos, dan lain-lainnya lagi. Gila! Aku berasa kaya sekali dengan kehadiran mereka dan isi rekeningku tergerus terus.

Aku dan Naeva sepakat merayakan yudisium ini di Ayam Penyet Pak Ulis. Sebuah gerai fast food ayam yang cukup populer dengan sambal terasi dan lalapannya. Dominasi tomatnya tidak berasa menyiksa, padahal pedasnya luar biasa. Semua orang setuju dan suka di sana. Ide kami diterima.

Oh, biar kuralat. Tepatnya ide Amel yang diterima dengan validasi dari aku. Ya, Amel memang memberi saran, tapi mereka masih mempertimbangkan ini itu demi kenyamanan bersama. Aku kasihan melihat Amel yang mulai putus asa. Akhirnya satu opini dariku menggiring publik untuk memilih Ayam Penyet Pak Ulis untuk tempat merayakan pencapaian.

Jangan tanya aku. Dari awal aku sudah tak nyaman dengan suasana. Kulihat Amel dan teman sekelasnya mulai bercerita tentang target. Tentu saja target yang sulit kucapai karena terlalu tinggi, terlalu jauh untuk kugapai. Mereka semua memiliki rencana untuk melanjutkan S2 dan menikah dengan pria yang layak. Aku? Jangankan memikirkan pernikahan, membayangkan pria yang layak saja bikin nangis.

Amel ternyata punya target tinggi untuk lelaki yangg ingin dinikahinya. Aku baru tahu dan lumayan kaget. Bahkan dia menyingkat tipe pria itu dengan 3M: Mapan, Matang, Menawan. Wow!

Konyolnya dia sudah punya target siapa lelaki yang dia incar untuk saat ini. The most wanted man in campus. Pak Luthfi, dosen Metodologi Penelitian Komunikasi yang masih lajang dan pesonanya bikin cewek pada tumbang. Pak Luthfi punya spek 3M yang disebut oleh Amel. Gila!

Teman di sekitar seolah mendukungnya, tapi sebenarnya tidak. Mereka berbisik dalam nyinyiran khas sahabat. Amel tidak sadar, tapi aku tahu. Satu poin aku catat dalam lembaran hidupku. Tidak semua orang yang tersenyum padamu sahabat yang sesungguhnya. Mereka bertepuk tangan di depanmu, tapi meludah di belakangmu.

Di antara para sahabat Amel yang aku kenal, aku menilai Nurul yang paling dekat dekatnya. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Nurul berencana menikah. Setelah menikah, rencana besarnya membuka toko hijab di daerah Pasaraya. Sebuah impian yang cukup konyol bagi seorang perempuan lulusan dengan IPK tertinggi.

Aku memperhatikan Nurul yang semangat sekali bercerita tentang lelaki yang dia idamkan sebagai imam di kemudian hari. Katanya lelaki shalih yang selama ini memang sudah menantinya penuh kesabaran. Aku tidak heran, dia bergabung dengan komunitas yang agamis. Satu sama lain memang saling mengikat hati dan melanjutkan ke pelaminan. Aku pernah mendengar, lelaki yang sama pernah naksir Amel dan Nurul sekaligus.

Sekarang aku mengerti. Apa yang membedakan keduanya. Amel yang mudah dekat dengan siapa saja, periang, dan sangat welcome untuk semua orang terlalu baik kalau tidak bisa dikatakan konyol alias bodoh di ending. Dia menunjukkan kepolosannya sebagai senjata untuk menarik teman sekaligus menjauhkan calon hidup.

Nurul yang terlihat pendiam berlidah tajam. Dia tidak banyak bicara, tapi sekalinya dia membuka mulut lidahnya begitu berbisa. Menurutku Nurul itu licik. Dia bisa memanipulasi keadaan, sehingga semesta bisa berporos kepadanya hanya dalam satu tepukan tangan.

Aku melihat, inilah penyebab lelaki yang menyukai Nurul dan Amel sekaligus itu memilih Nurul. Bukan Amel. Amel terlalu polos dan tanpa sengaja mendorong lelaki itu ke pelukan Nurul. Nurul dengan wajah setting-an sahabat seolah memberi jalan untuk Amel, tapi dia sedang menyingkirkan jalannya dari kehadiran Amel.

Oh, Tuhan! Aku benci membaca karakter orang. Inilah yang aku khawatirkan ketika berkumpul dengan para teman dan aku memilih diam. Aku sibuk menganalisa karakter orang dan lupa tujuanku di sini.

Aku menunduk dalam, berusaha memainkan ponselku dengan tenang. Mencoba mengingat apa yang bisa aku lakukan untuk menunjukkan seolah aku sedang sibuk. Ada Nurul yang sedang berceramah cara menemukan lelaki yang bertanggungjawab versi dia. Ada Amel yang menatap iri penuh pemujaan pada Nurul.

“Ah, sebentar! Naufal menelepon,” kata Nurul girang. Wajahnya sumringah. Dia menjauh dari meja yang sedang mengobrol tentang rencana besar dalam hidup.

Nurul dan Naufal, sungguh pasangan yang serasi sekali setelah makan sambal terasi. Aku merasa Nurul memang sedang mengatur percakapan itu untuk didengar oleh para temannya, terutama Amel. Aku melirik Amel yang menatap dengan senyum lebar, tapi matanya tidak bisa berbohong. Penuh air mata kecewa dan cemburu.

“Abang Naufal, ih! Kan kemarin sudah kasih hadiah. Kok hadiah lagi? Ntar adek dikira matre, lho.” Suara Nurul dibuat semanja mungkin. Genit. Perutku mual mendengarnya.

Kulirik teman-temannya di meja tak jauh dari Nurul berbicara. Terdiam mendengar obrolan sahabat mereka yang akan merealisasikan rencana besarnya. Ntah apa yang dikatakan oleh Naufal di seberang sana. Nurul cekikikan dengan volume yang dinaikkan beberapa oktaf. Keras dan manja.

“Ya, sudah, Bang. Salam buat Ummi dan Abi, ya. Sampaikan terima kasih adek juga untuk Ummi dan Abi. Belum jadi menantu saja sudah dimanja. Bagaimana nanti? Sepertinya adek bakalan nggak kuat menerima kasih sayang meraka.” Kalimat itu membuatku semakin mual. Nurul sedang pamer.

Kuperhatikan semua wajah yang menunggunya selesai berbicara. Ada rasa iri melekat dan jelas terlihat di sana. Amel yang paling heboh memberi selamat, memeluk, dan mencium Nurul. Bahkan dia tidak segan-segan untuk mengatakan menunggu undangan Nurul sekaligus seragam bridemaids. Nurul tersenyum bangga dan puas.

Sekali lagi aku benci rasa ini. Nurul hanya ingin memamerkan kemesraan dan kemenangannya pada Amel. Apa yang sedang dibuktikan oleh Nurul pada Amel? Aku masih belum menemukan jawabannya. Namun saat mengantarku pulang dengan sepeda motornya, Amel mengajakku duduk di taman.

“Kenapa, sih, apa yang aku inginkan tidak pernah aku dapatkan, Va?” tanya Amel. Air matanya jatuh bercucuran. Aku diam, tidak menjawab. Pertanyaan ini lebih sulit daripada jawaban untuk pertanyaan kapan kamu menikah?

Kupikir urusannya akan singkat. Ternyata Amel justru bercerita tentang rencana besar yang diceritakan Nurul itu tentang rencana besar Amel yang dicuri. Nurul mencuri rencana  Amel. Oh, wow! Aku sungguh terkagum dan ingin tepuk tangan pada persahabatan mereka yang palsu.

Kekesalanku pada cara Amel menertawakan isi rekeningku menguap. Berganti rasa simpati pada Amel. Kalau kupikir lebih matang, Amel hanya tidak beruntung. Dia kurang beruntung dalam karir dan pertemanan. Ntah karena kepolosannya atau karena kebaikannya.

Lelah menangis dan puas meratap, Amel mengantarku pulang ke kos. Aku turun dari boncengan sepeda motor Amel dengan elegan. Sepatu murahan dengan hak kecil itu menancap kokoh di aspal tanpa melukai, apalagi melubangi.

Aku duduk di kursi panjang rumah kos. Kakiku lecet. Aku harus menunggu beberapa saat sebelum kakiku bisa dilepas perlahan.

“Naeva,” suara bapak kos mengejutkan aku. Dia menggantungkan kedua tangan di tali tambang yang menggantu pada pintu ruang tamu. “Kamu nggak perlu lagi memperpanjang kos. Kamu kan sudah selesai kuliah. Sudah bisa pindah dari sini.”

Aku terdiam. Bapak kos kami memang tidak tahu caranya berkomunikasi, tapi kurasa bukan begini caranya bicara. Ini sama saja aku seperti diusir. Meski disampaikan dengan lembut, tapi pilihan katanya buruk.

Aku terdiam lama. Mataku menatap kaki yang mulai kembung air dan memerah. Tali temali kecil di kaki seperti mengikatku untuk tidak melangkah lagi. Sementara bapak kos sudah masuk ke dalam. Duduk di balik meja kios dan menjual rokok pada remaja tanggung yang belajar nakal.

Lima belas menit lamanya aku terdiam. Aku memutuskan melepas sandal dan masuk ke dalam rumah. Kamarku di lantai dua harus melewati ruang tamu bapak kos dulu.

“Kak Naeva diusir, ya?” kekeh Nova sambil mengaduk-aduk teh manis dalam teko plastik. Aku hanya tersenyum getir sambil menapaki anak tangga kecil menuju ke lantai dua.

Dari kamarku di lantai dua, kudengar bisikan ghibah anak kos. Aku memilih memejamkan mata tanpa melepas kebaya sambil memikirkan rencana besar di depan mata. Pindah kos.

Posting Komentar