Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter Blue Window sebelumnya.
(*_*)
Mereka
sudah mempersiapkannya. Sebuah hajatan besar seperti yang umumnya terjadi
setiap perayaan kelulusan. Yudisium yang menyenangkan tanpa peduli isi dompet.
Mereka membuat aturan, aku hanya mengikuti saja.
Sebenarnya
aku tidak begitu peduli dengan apa yang mereka tawarkan. Aku sudah tidak fokus
saat temanku mengatakan mengundang minimal lima orang teman, jika lebih boleh.
Tapi tidak termasuk dalam paket makan-makan yang disediakan itu.
Blue Window [Photo: Dokumen Pribadi] |
Aku
mengundang teman sekampus yang tidak bisa aku katakan sedikit. Aku bergabung di
banyak organisasi, akhirnya aku memilih teman kampus saja. Teman kampus dalam
arti sebenarnya, tidak bertemu lagi di organisasi manapun. Untuk pertama kali
dalam hidup, aku menyesal punya teman banyak.
Setelah
traktir teman kampus, akan ada episode traktir teman organisasi, paguyuban,
sanggar, anak kos, dan lain-lainnya lagi. Gila! Aku berasa kaya sekali dengan
kehadiran mereka dan isi rekeningku tergerus terus.
Aku
dan Naeva sepakat merayakan yudisium ini di Ayam Penyet Pak Ulis. Sebuah gerai fast
food ayam yang cukup populer dengan sambal terasi dan lalapannya. Dominasi
tomatnya tidak berasa menyiksa, padahal pedasnya luar biasa. Semua orang setuju
dan suka di sana. Ide kami diterima.
Oh,
biar kuralat. Tepatnya ide Amel yang diterima dengan validasi dari aku. Ya,
Amel memang memberi saran, tapi mereka masih mempertimbangkan ini itu demi
kenyamanan bersama. Aku kasihan melihat Amel yang mulai putus asa. Akhirnya
satu opini dariku menggiring publik untuk memilih Ayam Penyet Pak Ulis untuk
tempat merayakan pencapaian.
Jangan
tanya aku. Dari awal aku sudah tak nyaman dengan suasana. Kulihat Amel dan
teman sekelasnya mulai bercerita tentang target. Tentu saja target yang sulit
kucapai karena terlalu tinggi, terlalu jauh untuk kugapai. Mereka semua
memiliki rencana untuk melanjutkan S2 dan menikah dengan pria yang layak. Aku?
Jangankan memikirkan pernikahan, membayangkan pria yang layak saja bikin
nangis.
Amel
ternyata punya target tinggi untuk lelaki yangg ingin dinikahinya. Aku baru
tahu dan lumayan kaget. Bahkan dia menyingkat tipe pria itu dengan 3M: Mapan,
Matang, Menawan. Wow!
Konyolnya
dia sudah punya target siapa lelaki yang dia incar untuk saat ini. The most
wanted man in campus. Pak Luthfi, dosen Metodologi Penelitian Komunikasi
yang masih lajang dan pesonanya bikin cewek pada tumbang. Pak Luthfi punya spek
3M yang disebut oleh Amel. Gila!
Teman
di sekitar seolah mendukungnya, tapi sebenarnya tidak. Mereka berbisik dalam
nyinyiran khas sahabat. Amel tidak sadar, tapi aku tahu. Satu poin aku catat
dalam lembaran hidupku. Tidak semua orang yang tersenyum padamu sahabat yang
sesungguhnya. Mereka bertepuk tangan di depanmu, tapi meludah di belakangmu.
Di
antara para sahabat Amel yang aku kenal, aku menilai Nurul yang paling dekat
dekatnya. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Nurul berencana menikah. Setelah
menikah, rencana besarnya membuka toko hijab di daerah Pasaraya. Sebuah impian
yang cukup konyol bagi seorang perempuan lulusan dengan IPK tertinggi.
Aku
memperhatikan Nurul yang semangat sekali bercerita tentang lelaki yang dia
idamkan sebagai imam di kemudian hari. Katanya lelaki shalih yang selama ini
memang sudah menantinya penuh kesabaran. Aku tidak heran, dia bergabung dengan
komunitas yang agamis. Satu sama lain memang saling mengikat hati dan
melanjutkan ke pelaminan. Aku pernah mendengar, lelaki yang sama pernah naksir
Amel dan Nurul sekaligus.
Sekarang
aku mengerti. Apa yang membedakan keduanya. Amel yang mudah dekat dengan siapa
saja, periang, dan sangat welcome untuk semua orang terlalu baik kalau
tidak bisa dikatakan konyol alias bodoh di ending. Dia menunjukkan
kepolosannya sebagai senjata untuk menarik teman sekaligus menjauhkan calon
hidup.
Nurul
yang terlihat pendiam berlidah tajam. Dia tidak banyak bicara, tapi sekalinya
dia membuka mulut lidahnya begitu berbisa. Menurutku Nurul itu licik. Dia bisa
memanipulasi keadaan, sehingga semesta bisa berporos kepadanya hanya dalam satu
tepukan tangan.
Aku
melihat, inilah penyebab lelaki yang menyukai Nurul dan Amel sekaligus itu
memilih Nurul. Bukan Amel. Amel terlalu polos dan tanpa sengaja mendorong
lelaki itu ke pelukan Nurul. Nurul dengan wajah setting-an sahabat seolah
memberi jalan untuk Amel, tapi dia sedang menyingkirkan jalannya dari kehadiran
Amel.
Oh,
Tuhan! Aku benci membaca karakter orang. Inilah yang aku khawatirkan ketika
berkumpul dengan para teman dan aku memilih diam. Aku sibuk menganalisa
karakter orang dan lupa tujuanku di sini.
Aku
menunduk dalam, berusaha memainkan ponselku dengan tenang. Mencoba mengingat
apa yang bisa aku lakukan untuk menunjukkan seolah aku sedang sibuk. Ada Nurul
yang sedang berceramah cara menemukan lelaki yang bertanggungjawab versi dia.
Ada Amel yang menatap iri penuh pemujaan pada Nurul.
“Ah,
sebentar! Naufal menelepon,” kata Nurul girang. Wajahnya sumringah. Dia menjauh
dari meja yang sedang mengobrol tentang rencana besar dalam hidup.
Nurul
dan Naufal, sungguh pasangan yang serasi sekali setelah makan sambal terasi.
Aku merasa Nurul memang sedang mengatur percakapan itu untuk didengar oleh para
temannya, terutama Amel. Aku melirik Amel yang menatap dengan senyum lebar,
tapi matanya tidak bisa berbohong. Penuh air mata kecewa dan cemburu.
“Abang
Naufal, ih! Kan kemarin sudah kasih hadiah. Kok hadiah lagi? Ntar adek dikira
matre, lho.” Suara Nurul dibuat semanja mungkin. Genit. Perutku mual
mendengarnya.
Kulirik
teman-temannya di meja tak jauh dari Nurul berbicara. Terdiam mendengar obrolan
sahabat mereka yang akan merealisasikan rencana besarnya. Ntah apa yang
dikatakan oleh Naufal di seberang sana. Nurul cekikikan dengan volume yang
dinaikkan beberapa oktaf. Keras dan manja.
“Ya,
sudah, Bang. Salam buat Ummi dan Abi, ya. Sampaikan terima kasih adek juga
untuk Ummi dan Abi. Belum jadi menantu saja sudah dimanja. Bagaimana nanti?
Sepertinya adek bakalan nggak kuat menerima kasih sayang meraka.” Kalimat itu
membuatku semakin mual. Nurul sedang pamer.
Kuperhatikan
semua wajah yang menunggunya selesai berbicara. Ada rasa iri melekat dan jelas
terlihat di sana. Amel yang paling heboh memberi selamat, memeluk, dan mencium
Nurul. Bahkan dia tidak segan-segan untuk mengatakan menunggu undangan Nurul
sekaligus seragam bridemaids. Nurul tersenyum bangga dan puas.
Sekali
lagi aku benci rasa ini. Nurul hanya ingin memamerkan kemesraan dan
kemenangannya pada Amel. Apa yang sedang dibuktikan oleh Nurul pada Amel? Aku
masih belum menemukan jawabannya. Namun saat mengantarku pulang dengan sepeda
motornya, Amel mengajakku duduk di taman.
“Kenapa,
sih, apa yang aku inginkan tidak pernah aku dapatkan, Va?” tanya Amel. Air
matanya jatuh bercucuran. Aku diam, tidak menjawab. Pertanyaan ini lebih sulit
daripada jawaban untuk pertanyaan kapan kamu menikah?
Kupikir
urusannya akan singkat. Ternyata Amel justru bercerita tentang rencana besar
yang diceritakan Nurul itu tentang rencana besar Amel yang dicuri. Nurul
mencuri rencana Amel. Oh, wow! Aku
sungguh terkagum dan ingin tepuk tangan pada persahabatan mereka yang palsu.
Kekesalanku
pada cara Amel menertawakan isi rekeningku menguap. Berganti rasa simpati pada
Amel. Kalau kupikir lebih matang, Amel hanya tidak beruntung. Dia kurang
beruntung dalam karir dan pertemanan. Ntah karena kepolosannya atau karena kebaikannya.
Lelah
menangis dan puas meratap, Amel mengantarku pulang ke kos. Aku turun dari
boncengan sepeda motor Amel dengan elegan. Sepatu murahan dengan hak kecil itu
menancap kokoh di aspal tanpa melukai, apalagi melubangi.
Aku
duduk di kursi panjang rumah kos. Kakiku lecet. Aku harus menunggu beberapa
saat sebelum kakiku bisa dilepas perlahan.
“Naeva,”
suara bapak kos mengejutkan aku. Dia menggantungkan kedua tangan di tali tambang
yang menggantu pada pintu ruang tamu. “Kamu nggak perlu lagi memperpanjang kos.
Kamu kan sudah selesai kuliah. Sudah bisa pindah dari sini.”
Aku
terdiam. Bapak kos kami memang tidak tahu caranya berkomunikasi, tapi kurasa
bukan begini caranya bicara. Ini sama saja aku seperti diusir. Meski
disampaikan dengan lembut, tapi pilihan katanya buruk.
Aku
terdiam lama. Mataku menatap kaki yang mulai kembung air dan memerah. Tali
temali kecil di kaki seperti mengikatku untuk tidak melangkah lagi. Sementara
bapak kos sudah masuk ke dalam. Duduk di balik meja kios dan menjual rokok pada
remaja tanggung yang belajar nakal.
Lima
belas menit lamanya aku terdiam. Aku memutuskan melepas sandal dan masuk ke
dalam rumah. Kamarku di lantai dua harus melewati ruang tamu bapak kos dulu.
“Kak Naeva diusir, ya?” kekeh Nova sambil mengaduk-aduk teh manis dalam teko plastik. Aku hanya tersenyum getir sambil menapaki anak tangga kecil menuju ke lantai dua.
Dari kamarku di lantai dua, kudengar bisikan ghibah anak kos. Aku memilih memejamkan mata tanpa melepas kebaya sambil memikirkan rencana besar di depan mata. Pindah kos.
Posting Komentar