Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Meja Nomor 44

Setahun lebih aku menunggu di meja nomor 44. Seyal tidak pernah datang dengan lengkap. Seyal tidak pernah menjadi cerita terakhirku.

Bisa aku katakan, aku bukanlah orang yang memiliki semangat hidup tinggi dalam menggapai cita-cita. Orientasiku bukan kemapaman hidup. Tidak heran, jika di usia sekarang aku tidak memiliki apa-apa selain binder berwarna hijau pokat dengan berbagai model handwriting bukan untuk dikomersilkan, tapi hanya untuk memperindah catatan saja. Isinya? Sebagian besar mimpi yang tidak pernh terwujud karena aku terlalu sibuk.

Harusnya kesibukanku memang menghasilkan. Namun pepatah Aceh ataukah ungkapan masyarakat setempat membuatku semakin yakin aku di posisi mana. Mereka bilang, “orang cantik tidak bersuami, orang pintar tidak bergaji.” Aku sangat percaya diri untuk mengatakan aku berada di dalam kedua kelompok ini. Cantik dan pintar. Itu sebabnya aku belum menikah. Aku juga tidak punya karir mulus. Sampai dia datang, duduk di meja yang sama denganku di sebuah warung kopi. Namanya warkop Himalaya.


meja nomor 44
Gambaran sebuah cafe
[Photo: Pexels]

“Sering duduk di sini, ya?” tanyanya tanpa basa basi. Aku hanya melirik, tidak berminat memberi jawaban. “Kamu tahu? Asap rokok yang menyebar di udara diam-diam menempel di kulitmu yang terlalu glowing. Kamu tahu? Asap rokok bisa menyebabkan penuaan dini. Jika kamu peduli, sih.”

Aku meliriknya. Memperhatikan dia dari ujung rambut sampai pakaian yang dia pakai. Kemeja Levi’s berwarna baby blue. Warna kesukaanku yang memang mencuri perhatianku juga karena mereknya. Kulitnya cukup mulus untuk ukuran lelaki. Kupikir dia tipe yang sangat peduli akan perawatan badan. Tipikal langka untuk laki-laki.

“Nggak perlu awkward begitu. Aku kadang-kadang mengikuti temanku ke warkop ini. Setiap aku di sini selalu melihatmu. So, aku pikir tidak salah menyapamu untuk sekedar mengingatkan. Asap rokok bahaya untuk kulitmu yang terlalu glowing. Apalagi usiamu, ya, tidak semuda yang orang pikir,” dia menambahkan dengan kurang ajar. Aku terkejut tentunya.

Kalimatnya ini seolah dia mengenalku ratusan tahun lamanya. Aku menajamkan ingatan, mencoba mengingat dimana aku pernah bertemu dengannya. Di Jakarta, di Medan, di luar negeri, dimana? Segenap usaha apapun aku mencoba mengingatnya, tidak ada satu pun folder di otakku yang berhasil membawa dia kembali dalam ingatan.

“Jangan terlalu ikut campur dengan urusan orang. Apalagi jika tidak saling kenal,” kusambar dia dengan kalimat ketus. Dia terkejut. Sedikit. kemudian tertawa keras.

Jujur saja, melihat dia tertawa menyebalkan seperti ini membuat aku lebih jengah. Maunya apa sampai harus sok kenal sok akrab dan datang dengan segenap penghakiman. Eum, kalau bisa aku katakan kalimatnya penghakiman. Sebenarnya aku hanya tidak suka ketika secara tidak langsung dia menyinggung umur. Seolah dia manusia paling muda atau bermuka muda sedunia. Dari penampilan dan garis wajahnya saja aku sudah tahu dia lelaki berumur. Mungkin kami sebaya.

“Ini yang salah. Kamu cepat sekali melupakan orang, Alkaline. Harusnya kamu bertanya dulu padaku, dimana kita pernah bertemu. Tidak sembarangan orang akan duduk di hadapanmu dan bicara layaknya kawan lama jika memang tidak pernah ada cerita sebagai kawan lama. Ini bukan dongeng, Cantik. Ini realita.”

Alkaline. Nama itu hanya disematkan oleh.. rekan Elephant Mobile?

Kutatap dia dengan seksama. Panggilan Alkaline hanya diketahui oleh rekan dari perusahaan start up ini. Hanya tim pemasarannya. Jadi, dia pasti salah satu dari mereka. Harusnya aku mengenal dia. Kami tidak banyak, hanya ada enam orang. Empat orang lelaki dan dia adalah….

Tidak ada satu pun dari keempat nama yang tertera di sana berwajah seperti Mario Maurer ini. Kecuali mereka operasi plastik. Itu pun mustahil, karena mereka akan berubah wujud seperti oppa Korea, bukan seperti ini.

“Ingatanmu lemah sekali, tidak sebanding dengan cantikmu.” Dia menghambuskan nafas kesal. “Aku Seyal, kita bertemu hanya seminggu. Setelahnya aku pindah ke Thailand. Kamu lupa kan?”

Oh, sial! Aku baru ingat. Lelaki yang sempat masuk ke dalam mimpiku selama beberapa minggu. Dia menghilang mendadak, kemudian muncul kembali dengan kabar sudah resmi menetap di Thailand. Aku kini ingat apa alasan mendepaknya dari ingatanku. Dia mengaku tinggal di Bangkok bersama seorang the most beautiful lady boy in the town. Aku menyerah. Tidak sanggup memperjuangkan cintaku jika harus bersaing dengan lady boy. Secara tampang, aku kalah jauh.

“Seyal? Kenapa kamu ada di sini? Dipecat dari EM?” Aku tidak bisa menutupi rasa kagetku. Berbagai macam pertanyaan juga muncul bergantian di dalam kepalaku. Berebutan keluar untuk ditanyakan pada Seyal.

Dia tertawa saja. Hidup memang penuh dengan candaan. Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Detik ini kita hanya tahu bahwa dalam setiap doa kita sedang bersaing dengan doa orang lain.


Ladyboy Thailand
[Photo: Pexels]

Seyal pernah mampir dalam setiap doaku. Bahkan pernah terselip dalam kalimat panjang doa tengah malam. Jika Seyal memang jodohku, dekatkanlah aku dengannya. Jika dia bukan jodohku, beri waktu untuk kami agar kami berjodoh. Jika harus menunggu lama, jadikan kami jomlo hingga bertemu satu sama lain untuk bersama.

Seyal ada di depanku. Kuharap dia belum menikah. Sehingga aku yakin sekali, kehadiran dia di sini untuk menjawab doa-doaku yang pernah kuanggap konyol. Namun aku mengucapkannya dengan sepenuh hati.

“Aku sudah lama menunggu momen ini, Line. Kita nikah saja, yuk. Biar status kita berakhir sebagai pasangan suami istri,” ajaknya santai. Seolah meminta orang menikah dengannya seperti menawarkan produk untuk calon klien.

Aku terkejut. Mulutku menganga membuat terowongan besar.

You see? Kita masih sama single di usia tidak muda lagi. Kemudian dipertemukan lagi di sini. Kalau bukan karena jodoh, apalagi namanya?”

“Like.. seriously?” tanyaku tidak percaya.

Seyal mengangguk. "Kalau kamu setuju, besok datang ke sini lagi pukul 12 siang. Jam makan siang. Aku akan duduk di meja nomor 44,” dia menunjukkan sebuah sudut di warkop Himalaya.

Aku tidak menjawab. Esoknya aku memang datang lebih cepat. aku duduk di meja nomor 44 sampai sore. Tanpa Seyal, dia tidak ada di sana. Aku kecewa, kesal dan sedih. Besoknya aku datang lagi. Besoknya lagi. Hampir setahun aku terus kembali ke meja 44 dan menunggu kedatangan Seyal.

“Hai, Alkaline,” sebuah suara berat mengagetkan aku. Aku menoleh dan menatap wajah mulus seorang lelaki tersenyum padaku.

“Maaf, siapa ya?”

“Kamu lupa kepadaku?” tanyanya. Tanpa aku persilahkan duduk, dia mengambil posisi di depanku. Harusnya Seyal yang duduk di situ. Dia memperkenalkan diri, “Aku Arman, teman baik Seyal.”

Aku menunduk. Meskipun berharap kedatangan lelaki itu. Aku tetap sedih dan kecewa mengingat nama itu.

“Aku datang untuk memberikan ini. Maaf, aku baru memberikan sekarang. Padahal aku sudah setahunan ini melihatmu duduk di sini.”

“Apa ini?” aku mengambil sebuah kotak merah berlapis beludru yang disodorkan Arman ke depanku.

“Permintaan terakhir Seyal. Dia ingin mmeberikannya langsung padamu, tapi dia kecelakaan saat kemari. Dalam perjalanan ke rumah sakit, dia meninggal. Sebelum meninggal, dia berpesan agar aku memberikan kotak ini padamu.”


cincin lamaran
Cincin
[Photo: Pexels]

Air mataku seketika luruh. Aku menangis sesenggukan. Tidak peduli orang-orang mulai melirik ingin tahu. Akhir ceritaku seperti ini. Doaku masih misteri.

Setahun lebih aku menunggu di meja nomor 44. Seyal tidak pernah datang dengan lengkap. Pertama dia datang dengan kalimatnya yang menyakitkan. Kedua dia datang diwakili orang lain. Seyal tidak pernah menjadi cerita terakhirku.

Kubuka kotak beludru merah itu perlahan. Sepasang cincin dengan batu sapphire di sana. Bayangan Seyal memantul, melambaikan tangan padaku dengan senyum jahilnya. Hanya beberapa detik. Kemudian Seyal lenyap. Aku menutup kotak itu, beberapa detik kemudian kubuka lagi. Berharap melihat Seyal di sana. Tidak ada. Batu sapphire kkecil itu hanya memantulkan wajahku sendiri.

Posting Komentar