“Kamu sudah berapa kali dapat perjadin sejak kerja di sini?” tanya seorang teman yang baru pulang dari luar provinsi. Bisa dikatakan, ini perjadin pertama dia ke luar provinsi. Dia sangat bangga dengan perolehan uang yang dia dapat. Dia menghitungnya sebagai laba dari perjalanan.
Saya menjawab, “belum pernah. Dulu sempat mau ke Palembang, tapi nggak jadi karena anak masih menyusui dan suami nggak dapat cuti dari satkernya,” kata saya menjelaskan. Padahal penjelasan seperti ini nggak dibutuhkan untuk pertanyaan ini. Jawaban TIDAK PERNAH sudah menjadi jawaban paling mutlak.
[Photo: My dramalist] |
Perjadin Untuk Apa?
Perjadin
singkatan dari perjalanan dinas. Banyak orang yang bekerja di instansi sangat
mengejar perjadin karena pada kegiatan ini bisa mendapatkan uang tambahan. Kata
teman saya yang rajin mendapat tugas perjadin, dia bisa mendapatkan uang saku
tambahan sampai jutaan rupiah.
Serius.
Saya nggak ngerti apa alasan yang membuat orang-orang seperti memburu perjadin
ini. Namun jawabannya sudah terjawab, healing sejenak dari kesibukan
kerja dan uang saku ekstra di luar gaji. Begitulah kiranya yang dikejar banyak
orang.
Perjadin
untuk apa? Untuk mewakili satker
menghadiri kegiatan di luar dan melakukan pertemuan dengan banyak orang.
Sebenrnya, melalui perjadin ini pula kita melebarkan relasi dan jaringan dengan
perwakilan dari lembaga lain dengan bidang yang sama. Akan tetapi, sejak zaman digital
justru tujuan ini mulai berkurang.
Orang-orang
tidak lagi melebarkan jaringan, sebagian kecil memang melakukan tour atau
reuni dengan teman lama menggunakan anggaran kantor. Sebelum memutuskan
berangkat, satu sama lain sudah saling terhububung di percakapan whatapp. Bertanya
apakah si kawan berangkat atau nggak. Jika nggak dan tidak ada teman lain,
kebanyakan dia juga nggak terlalu ngotot untuk ikut.
Reuni dan Rihlah
Reuni
saat berada di kegiatan sudah pasti, rihlah sudah pasti menjadi bonus. Apalagi
kalau kegiatan diselenggarakan di kota yang menjadi wisata. Wuih, sudah pasti
ini bagian dari rihlah untuk para peserta. Namanya rihlah, mana seru tanpa
bestie.
Nah,
semakin tinggi posisi dan tingkatan instansi, maka semakin jauh pula
perjalanannya. Apalagi anggarannya, semakin besar sekali. Biaya perjadinnya
juga beragam, makin jauh makin mahal. Bayangkan saja kalau perjadin keluar
provinsi.
Banyak
orang-orang mempermasalahkan, setelah pulang dari perjadin tidak ada apapun
yang dibawa ke satker. Iya, memangnya mau dibawa apa? Pertanyaannya begitu,
kan? Biasanya kalau sudah bertemu teman lama dan reuni, selanjutnya adalah
rihlah.
Peserta
bisa saja meninggalkan ruang acara demi coret triplist ke tempat baru. Kumpul
dengan teman sambil menikmati pengalaman baru di tempat baru. Hal seperti ini
bisa dikatakan sangat wajar dan menyenangkan buat semua orang. Meskipun tidak
jarang menjadi sorotan orang luar atau yang tidak ikut kegiatan tersebut.
Perjadin Pertama ke Luar Provinsi
Setelah
sekian lama, saya akhirnya dapat perjadin. Ya, bisa dikatakan perjadin pertama
ke luar provinsi. Biasanya, untuk pindah kota saja susahnya minta ampun. Ada
saja kendalanya. Paling hebat dapat status Dinas Luar (DL) dengan Surat Tugas
(ST). Tidak mencakup Surat Perjalanan Dinas (SPD) alias tidak dibayarkan. Semua bayar sendiri.
[Photo: Pexels] |
Kata
orang, apa yang saya usahakan dan lakukan sangat worth it dengan
capaianya. Meskipun saya nggak yakin, tapi perjadin pertama keluar provinsi itu
tetap saya masukkan dalam daftar hadiah untuk healing setelah sekian
lama bolak balik mengurus ini dan itu.
Selain
perjadin pertama, saya menganggap perjalanan kali ini bukan semata untuk
bekerja saja. Ini sudah masuk sebagai coret triplist perjalanan wisata
saya setelah bertahun lamanya. Meski kata orang saya tekor, tapi saya
mendapatkan banyak cerita dan pengalaman yang bisa dibagikan kepada Teman
Belajar.
Dari Barat ke Timur
Perjalanan
kali ini lumayan jauh. Dari barat ke timur Indonesia. Ya, meskipun Nusa
Tenggara Barat masuk ke wilayah tengah Indonesia, tapi tetap saja dianggap
Indonesia Timur. Padahal Nusa Tenggara Timur yang baru masuk area Timur
Indonesia.
Tak
masalah, abaikan solah Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Mari kita
bercerita tentang perjalanan dari barat ke timur.
Well,
sudah bukan rahasia lagi kalau biaya hidup di barat dan
tidur itu mahal. Teman saya yang pernah tinggal di Lombok dan Papua karena
mengikuti tugas sang suami pernah berkata kalau biaya hidup di sana sangat
mahal. Saya nggak begitu menanggapi karena kecl kemungkinan ke sana. Lagipula,
Aceh kurang mahal apa?
Begitu
kaki menjejak di Lombok, saya langsung mengakui apa yang dikatakan oleh teman
saya tersebut. Lombok memang mahal sekali. Saya juga agak ngggak cocok dengan
makanannya. Terlalu polos tapi harus bayar mahal. Namun ada beberapa hal yang
perlu dicatat dan mungkin bisa dipertimbangkan untuk yang akan perjadin ke Nusa
Tenggara Barat.
Tanggungan Hotel dan Uang Saku
Jika
berangkat dengan status perjadin, ada yang namanya Standar Biaya Masukan (SBM).
Setiap daerah punya SBM yang berbeda. SBM ini bisa diakses digital dan tidak
ada rahasia. Silahkan cek saja dengan kata kunci SBM Perjadin 2024 maka
akan keluar daftar dalam bentuk PDF untuk pertimbangan sebelum perjadin.
Waktu
itu lumayan banget, tapi saya nggak ngerti soal SBM. Jadi saya mengisi semua poin pengeluaran itu
dengan jujur saja. Berapa harga hotel, tiket, dan lainnya berdasarkan
pengeluaran saja. Sementara orang sudah meningkatkan angka di hotel,
transportasi dari bandara ke hotel, sampai bon makan. Saya tetap memakai biaya
yang asli.
Tanggungan
hotel dan uang saku untuk SBM perjadin ke Lombok lumayan tinggi. Untuk hotel
ditanggung Rp 900 ke atas permalam. Uang sakunya sendiri Rp 440 ribu perhari.
Pembiayaan ini berdasarkan eselonnya, ya. Saya sendiri kurang paham dengan
tingkatan eselon untuk PNS, tapi saya ada di posisi pangkat dan golongan III/c.
Makan Sederhana Harga Merana
Beberapa
kali makan di Lombok, terutama di Senggigi yang paginya sangat indah super cerah
ternyata nggak sederhana. Harganya mahal banget, ding! Nasi putih, tumisan
kangkung, sepotong ikan. Itu harganya bisa sampai Rp 20 ribu. Mahal banget
kalau dibandingkan dengan Aceh yang sudah mahal. Apalagi dibandingkan dengan
daerah Jawa.
[Photo: Pexels] |
Makan
sederhana tapi harga bikin merana. Saya sampai mengkhawatirkan stok rupiah di
rekening tidak cukup mengingat diri doyan makan, tapi budget juga
pas-pasan. Akhirnya saya nggak berani coba banyak menu ini itu karena khawatir
semakin merana.
Saya
pernah beli satu cup kecil cappuccino dengan harga Rp 40 ribu. Saya
pikir rasanya enak banget. Ternyata harga nggak sesuai dengan kocek yang harus
saya rogoh. Memang, sih, ini nggak merata semua. Namun inilah gambaran umumnya.
Transportasi Umum Sulit
Kalau berharap banyak transportasi umum di Indonesia timur, sebaiknya jangan berharap banyak. Nasihat itu pernah disampaikan oleh teman saya yang lama tinggal di Indonesia timur. Soal ini saya juga nggak begitu kaget. Sama halnya dengan Aceh, transportasi umum itu sulit. Selain di Banda Aceh, rasanya susah sekali mencari transportasi umum.
Hal
yang sama kami hadapi saat di Nusa Tenggara Barat. Mencari kendaraan umum
susahnya minta ampun. Kalau mau traveling, jalan ninja yang bisa ditempuh
adalah dengan cara menyewa mobil pribadi atau motor. Untuk mobil kisarannya Rp
600 ribu permobil sudah lengkap dengan supir. Kalau motor saya nggak tahu,
karena beberapa kali dapat motor dikasih gratis saja.
Di
luar transportasi umum yang sulit, tapi orang-orang di sana sangat ramah.
Mereka senang berbagi, bercerita, dan percaya pada pendatang. Padahal nggak
semua pendatang itu baik, ya.
Persiapkan Kebutuhan dari Kota Asal
Ini
juga bagian paling penting dan harus diperhatikan sebelum melakukan perjadin.
Bukan cuma mengamankan anak yang tantrum minta ikut saja perlu dibereskan, tapi
barang-barang pribadi juga penting sekali untuk diangkut. Bagaimanapun akses
berbagai macam di Indonesia timur nggak segampang di kota asal.
Pernyataan
ini saya tulis bukan karena Indonesia timur terbelekang, tapi kitalah yang baru
datang. Kita masih belum mengenal daerah tersebut dengan baik. Perlu ini dan
itu nggak tahu mencarinya dimana. Semisal saja kita butuh materai untuk
dokumen, fotokopi, print foto, dan lainnya. Wah, kebayang ribetnya
mencari-cari.
Alihkan Pikiran Sejenak
Selain perjadin sangat diincar oleh banyak pagawai dengan alasan uang saku tambahan, perjadin juga banyak dihindari dengan alasan tertentu. Ada yang menghindari karena lokasinya, ada pula karena biayanya sistem talangan alias menanggung sendiri. Modal yang dibutuhkan untuk ke Indonesia Timur lumayan tinggi. Modal pokok belasan juta belum temasuk untuk menyenangkan diri. Ini pula yang membuat orang berpikir berulang kali untuk ke sana.
Saat mendapatkan tugas perjadin atau memutuskan perjadin, anggaplah sedang diberi kesempatan untuk healing. Alihkan pikiran sejenak dari pekerjaan yang tidak ada habisnya di kantor. Upayakan untuk tetap mengutamakan kesehatan mental diri sendiri. Intip juga halaman para travel atau lifestyle blogger untuk mendapatkan inspirasi perjalanan selama perjadin. Tulisan para blogger memberi inspirasi untuk menikmati perjadin ke luar provinsi, lho.
Posting Komentar