Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Kerinduan

Sejak bercerai dari Arfi aku tak lagi tinggal di kota itu. Tempat terindah berjuta kenangan dengan luka yang membasuhnya.

  Aku masih tertawa sendiri sampai iklan mengambil jeda tayangan Tom and jerry di televisi. Suara pintu diketuk dari luar membuat aku sadar kembali dari ketenanganku. Agak berat aku bangkit dan membuka pintu.

“Hai, Cinta.” Seorang lelaki menyapaku. Keterkejutanku belum reda ketika ia mengeluarkan setangkai bunga mawar merah berbungkus plastik bermotif. “Aku merindukanmu.”

Pantai dan pasangan
[Photo: Pexels]

“Mau apa kau?” tanyaku sengit. Tawa yang aku lepaskan berapa menit lalu terlupakan sudah. Mata lelaki itu terbelalak beberapa saat. Dia tersenyum dan melirikku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Bibirnya melengkung, membentuk senyum yang sangat aku rindukan.

“Aku rindu padamu, Cinta” ucapnya tanpa dosa.

“Untuk apa? Aku tidak merindukanmu,” tukasku ketus.

“Oke. Aku tak perlu kau merindukanku atau tidak, Cinta. Bagiku cukup satu hal, bisa bertemu denganmu adalah keindahan yang begitu berarti bagiku. Hari ini maupun esok, dan seterusnya. Terimalah.” Dia mengulurkan setangkai mawar merah. Aku hanya melihat kelopak bunga nan indah itu. Namun rasa gengsi itu membuatku tak menyentuh sedikitpun bunga itu. Lelaki itu meletakkan bunga di kakiku. Tanpa menatap wajahku lagi dia pergi.

*

Sejak bercerai dari Arfi aku tak lagi tinggal di kota itu. Tempat terindah berjuta kenangan dengan luka yang membasuhnya. Aku pindah, membawa serta angan dan cita-citaku. Anak satu-satunya diambil oleh keluarga Arfi. Mereka menganggap aku bukanlah Ibu yang baik untuk membesarkan anak. Sejak lahir, aku pun belum pernah menyentuhnya.

“Kau harus bisa tegar menghadapi keadaan ini, Cinta” Pesan Ibu, saat mengantarku ke batas kota. Hanya itu yang Ibu bisa lakukan. Karena aku memang sudah dicoret dari daftar keluarga besar.

“Berdoalah, kita saling mendoakan agar aku dan kamu kembali bersatu, Cinta. Kita berjodoh. Ini hanya kesalahpahaman,” Arfi memberi alasan untuk membela diri.

Akan tetapi, jelas sekali bahwa dia yang memulai permainan ini. Di luar sepengetahuanku dia malah selingkuh dengan sahabatku sendiri. Aku memergokinya dan membuatku kalap. Tanpa ampun aku membuat keonaran di keluarga besar Arfi. Aku yang sudah tak disukai oleh keluarga Arfi menambah kebencian mereka. Dengan berbagai alasan, jalan cerai diambil untuk menyelamatkan Arfi. Ya, hanya Arfi. Bukan aku. Semestinya aku juga mendapat tempat yang layak dalam pembelaan ini, tapi tidak.

Lima tahun terakhir aku hidup bahagia dengan kesendirianku. Statusku janda, tapi tak ada yang mengetahuinya. Tak ada yang mengenalku sebagai janda. Mereka, orang-orang di luar hanya mengenalku sebagai staf marketing yang handal dalam hal promosi. Tak heran jika posisiku naik menjadi manajer periklanan di perusahaanku bekerja. Posisi lembab selalu menjadi bayang-bayangku. Aku tak memikir siapapun. Arfi dan keluarganya, aku hanya pikir secuil maaf dari kedua orang tuaku. Kalaupun tidak, aku tak terlalu berkecil hati. Aku sudah punya semua yang aku punya. Tak perlu cinta seorang lelaki dalam hidupku jika itu hanya membuatku sakit hati. Aku cukup sendiri saja.

*

“Cinta” Suara lelaki membuatku menoleh. Dia tersenyum di depanku. Menatapku dengan tatapan yang sangat kurindukan. Tatapan enam tahun lalu sebelum peristiwa itu terjadi. Senyum itu masih seperti dulu. Begitu lembut, ramah dan membuat seluruh aliran darahku berhenti mengalir.

bahasa cinta
[Photo: Pexels]

“Ada apa? Maaf, maksudku ada perlu apa Anda dengan saya,” sahutku sedikit sombong. Dingin. Aku baru tersadar, senyum itu pula yang membunuhku, membuangku keluar dari lingkungan keluargaku. Sekarang senyum itu kembali hadir di hadapanku.

“Cinta, aku ada perlu denganmu. Hanya sebentar untuk kita bicara,” ujarnya. Suaranya begitu lirih, lembut. Suara yang mampu mengambil hatiku sembilan tahun lalu. Suara yang membuatku tergila-gila pada sosok lelaki ini.

Sembilan tahun lalu, ia mendatangiku seperti sekarang. Di depan kantin pusat kegiatan kampus. Dia datang dengan wajah penuh harapan. Menanti semenit waktu dariku. Kami berbicara, dan senyum serta kelembutannya menyihirku masuk ke dalam jerat cintanya. Lama aku menanti satu kata dari mulutnya, dia tak lakukan. Lama aku menanti kesungguhan dari dirinya, dia tak tunjukkan. Hingga kekacauan hatiku memaksanya untuk mengungkapkan satu kalimat kepastian dari mulutnya. Dia melakukannya, lalu menghilang. Aku tak takut, yakin dia kembali ke pelukanku.

Enam bulan pertama, hari-hari yang kami lalui berjalan baik-baik saja. Tak ada pertengkaran. Kecemburuan yang muncul hanya sekedarnya saja. Tak ada perselisihan paham. Bahkan tak ada ungkapan kasih sayang dengan sentuhan. Ciuman pertama pun aku rasa ketika enam bulan kedua.

Satu tahun pertama. Pertengkaran hampir setiap hari terjadi. Antara aku, dia dan beberapa perempuan dalam kehidupan kami menjadi bumerang. Kami sama-sama tak bisa mengelak dari rasa cemburu. Namun Arfi selalu menyalahkan aku tanpa mau peduli bagaimana perasaanku. Rasa cemburuku besar, begitupun dia. Aku tak bisa mengelak dari perasaan yang justru berkecamuk mengoyak hatiku.

“Cinta,” panggilnya, wajahnya memelas. Memperlihatkan keinginan yang sangat. Begitu yang selalu dia lakukan jika menginginkan sesuatu dari diriku. Tatapan yang membuatku luluh dan tak ingin melepasnya. Tentu saja ditambah dengan bertambahnya rasa cinta dan sayangku pada lelaki di hadapanku ini.

kerinduan yang besar
[Photo: Pexels]

“Aku sibuk sekali. Apa yang kau ingin bicarakan. Katakan saja di sini.”, aku harus tetap bersikap dingin. Ini demi mempertahankan prinsipku. Melupakan lelaki ini.

“Tak mungkin kita berbicara di hadapan orang banyak begini, Cin. Ini masalah kita. Antara aku dan kamu. Tolonglah,” Ia kembali memelas, membuatku tak mampu berkutik. Mataku tak boleh bertatap dengannya jika tak mau luluh.

“Apa yang mau kau bicarakan lagi, Fi. Sudah jelas kan semuanya,” aku berjalan menuju lift. Dia mengikutiku terus. Memegang pergelanganku erat. Bodohnya, aku tak berkutik. Aku malah menikmati saat-saat seperti ini. Saat-saat yang pernah terjadi sekitar delapan tahun lalu.

“Kamu tahu, Cin. Aku masih sangat mencintaimu. Sejak lima tahun lalu, aku terus memikirkan kamu. Aku terus mencarimu. Karena aku yakin aku masih mencintamu. Lebih dari..” dia berhenti ketika aku menatapnya. Aku tahu siapa yang akan disebut. Arfi diam, tak menyambung kalimatnya.

Siapa yang tak tahu bagaimana hubungannya dengan Yocta. Keberadaannya bahkan lebih penting daripada keberadaanku yang saat itu sedang mengandung anaknya. Sungguh sesuatu yang menyakitkan. Aku masih berpikir sepuluh kali lagi untuk kembali dalam pelukan Arfi. Aku harus siap menerima Arfi jika sewaktu-waktu dia menyakitiku lagi. Mungkin dia akan membawa Yocta lainnya untuk membuatku kembali ke titik nol. Sakit.

*

“Cinta, terimakasih atas waktu yang kau berikan untukku hari ini. Aku akan tetap berusaha, seperti dulu aku belajar memilikimu, seperti waktu yang kau berikan untukku. Terimakasih Cinta, aku tak akan menyiakan kesempatan ini. Kuharap, kita kembali bersatu. Aku akan memperbaiki kesalahanku. Sungguh, aku tak mau lebih bodoh dari keledai.” Suara Arfi mengalun dari seberang sana. Mengalun lembut masuk ke telingaku. Membawaku terbang ke awang. Sampai telepon dimatikan, aku masih terpana dan terus membayangkannya. Mungkinkah aku jatuh cinta lagi?

*

“Cinta, aku senang sekali masih bisa bertemu denganmu. Duduk lagi bersamamu. Walaupun tak di tempat dulu. Kalau boleh aku tahu, kenapa?” Tanya Arfi hati-hati. Sepertinya dia sangat menjaga kata-kata setelah melihat sikapku.

“Aku tak mau mengenang kenangan kita dahulu” tuturku tanpa menatapnya. Konsentrasiku terfokus pada hidangan yang telah tiba. Meskipun tak melihat langsung matanya, tetap saja jantungku berdegup kencang.

“Oh, begitu ya,” Dia tampak kecewa. Aku tak tega.

“Memangnya kenapa dengan tempat ini?”

“Tidak. Aku hanya heran, kenapa kau lebih suka di sini”

“Manusia akan berubah, Fi. Tidak dengan kamu, aku atau siapa saja. Aku menyukai tempat ini, karena itu aku memilihnya. Atas persetujuanmu juga kan?”

“Iya... Aku kira kau akan memilih salah satu tempat kenangan kita. Tak pernahkah ada sebersit kerinduan saat melewati tempat-tempat itu. Kita pernah menghabiskan waktu disana, Cinta.”

“Aku pikir tidak. Tak ada lagi kenangan tentang kita. Aku telah menguburnya hingga aku sendiri tak mampu menggali kembali. Kerinduan itu kuharap tak muncul.”

“Apa kau juga telah menguburku di dasar hatimu, Cinta? Aku masih mencintaimu dan tak mampu melupakanmu?”

“Setelah apa yang kau lakukan padaku. Kerinduan itu hilang.” Aku menahan tangis yang siap pecah, “bagaimana kabar gadismu? Gadis yang kau cintai itu” sindirku kemudian.

“Tak ada perempuan lain dihatiku selain dirimu, Cinta. Kamu tahu, buah cinta kita telah beranjak remaja,” ceritanya.

“Oh, ya. Aku tak pernah mengenalnya. Kerinduan itu pernah ada di dadaku untuknya. Tapi kamu yang membuatku tak bisa mencium darah dagingku sendiri, Fi. Apakah begitu caramu mencintaiku? Dengan membunuhku perlahan?”

“Tidak, Cinta. Putri kita, Mawar, berada di kota ini. Jika kau bersedia bertemu dengannya, aku akan mempertemukan kalian. Besok. Di tempat ini juga, kalau kamu tak mau di tempat lain.”

*

“Cinta, ini anak kita. Mawar.” Ucap Arfi. Ia bersama seorang anak perempaun berkulit putih mulus dengan satu lesung pipi di bagian kanan. Anak ini begitu manisnya. “Ayo, beri salam” Arfi mengucapkan pada gadis kecil itu, Mawar.

“Papa, Tante ini mirip Mama, ya.” ucap Mawar setelah mencium tanganku. Sejujurnya, aku ingin sekali memeluk gadis ini. Tak melepasnya lagi sampai kapanpun. Anak ini mirip sekali dengan Arfi. Matanya memwarisi mataku, dan senyumnya persis seperti Arfi.

“Peluk dia, Cinta. Dia anakmu. Anak kita”, suara Arfi menyadarkan aku, ada orang lain selain Mawar. Tanpa menunggu lama aku memeluknya. Memeluk gadis kecilku dengan penuh kerinduan. Aku telah menemukan kerinduan itu.

*

Minggu pagi tak seperti biasanya. Aku bangun lebih pagi dan lebih semangat. Menyalakan musik lembut untuk menemaniku membereskan rumah. Sejak aku bekerja dan sibuk di luar rumah, aku belum pernah mempekerjakan orang lain. Bagiku bekerja sendiri lebih baik, sebagai pengganti olah raga. Karena aku memang tak suka olah raga. Semangatku menanjak tiba-tiba. Adda harapan baru, secercah cahaya baru dalam hidupku setelah bertemu Mawar. Aku jadi ingin hidup lebih lama lagi. Hingga waktu itu pun tiba, ketika aku akan bertemu kembali dengan putriku.

“Terimakasih telah membawa Mawar padaku, Fi.” Ucapku tulus. Arfi tersenyum. Aku bisa melihat cahaya kebahagiaan mulai terpancar di matanya.

“Aku yang harus berterimakasih padamu. Kamu mau menemuiku, menemui Mawar, setelah apa yang aku lakukan padamu. Aku malah berharap, kita bisa berkumpul bertiga terus seperti ini, Cinta...” Ungkapnya. Tulus. Arfi mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Lalu tangannya membelai kepala Mawar, spertinya ia begitu bahagia dengan kebersamaan ini. Aku juga bahagia, tapi aku tak bisa ungkapkan ini.

“Kamu bahagia hidup bersama Mawar tanpa aku kan?” Tanyaku pada Arfi. Arfi menatapku. Cahaya yang tadi kulihat di matanya kembali memudar. Kemudian kepalanya bergerak, menggeleng lemah.

*

Satu Bulan Kemudian

“Cinta, terimakasih telah mengundangku bertemu denganmu, walau tanpa Mawar” cahaya di matanya terpancar begitu bahagia. Setelah bertemu Mawar sebulan lalu, aku memutuskan tak menemui Arfi. Aku akan mengabarinya kembali jika aku sudah siap dengan jawabanku.

“Ya. Aku harap Mawar baik-baik saja,” harapku. Dia mengangguk. Lalu cerita tentang Mawar mengalir  dari mulutnya. Mengapa dia dinamai Mawar? Keluarga Arfi berharap putriku menjadi anak yang manis dan indah, tetapi tak mudah masuk ke  dalam jebakan lelaki. Meskipun bahasanya tak sperti itu, tapi tujuan yang ingin dikatakan begitu. Keterlaluan.

“Setelah aku pikir-pikir dengan matang, demi Mawar, aku menolak untuk kembali hidup bersamamu, Fi. Aku tak mau menangis lagi. Terluka lagi dengan sikapmu. Waluapun kau berjanji tak mengulanginya, aku yakin cobaan itu akan datang lagi mendera rumah tangga kita nanti. Aku rindu pada Mawar, tapi aku tak bisa bersama lagi. Semoga, walaupun keputusanku begini, aku masih bisa bertemu Mawar, darah dagingku sendiri,” kata-kata berat ini akhirnya keluar juga. Lega.

“Apakah ada lelaki lain yang akan menjadi calon suamimu, Cinta?” Mata Arfi berkaca-kaca. Aku tahu dia kecewa dengan jawabanku. Dia memersiapkan diri bukan untuk kebahagiaan, bukan untuk dilukai lebih dalam.

“Tak ada lelaki dalam hidupku selain kamu. Kamu lelaki pertama dan terakhir yang aku cintai. Untuk selanjutnya, aku akan memilih sendiri. aku tak percaya lelaki, Fi. Jika aku kecewa dengan lelaki dengan pengkhianatannya, maka aku tak akan mengulang hal yang sama, Fi” tambahku.

“”Termasuk denganku?” Tanyanya lagi, masih berharap.

“Kamu lelaki pertama yang menyakitiku, Arfi. Mana mungkin aku menerimamu kembali.” Mungkin dengan cara keras seperti ini aku bisa menghentikan pengharapan arfi yang berlebihan.

“Kalau begitu adanya, aku harus menerima keputusanmu, Cinta. Aku harus menerima hukuman dari kesalahanku. Aku berharap, kita masih bisa bertemuu lagi. Demi Mawar. Suatu saat aku juga ingin kau mau membuka pintu maaf untukku. Menerima kembali aku dengan kesalahan masa laluku.” Sebening kristal jatuh membasahi pipinya. Arfi mengusapnya cepat. Dia bangkit dan menuju kasir. Di belakangnya, aku juga mengusap air mataku. Fi, aku sudah mulai mencintaimu lagi.  [*]

Posting Komentar