Sehangat secangkir kopi mengantar perbincangan
Tentang masa lalu kita merancang masa depan
Ingatkah janjiku kawan bila nanti kuterbang
Takkan kumelupakan jalan pulang
Sepenggal lagu Jikustik yang paling aku sukai mengalun mengiringi gerakanku membuka laptop, menyolok charger hp dan meletakkan ransel mungil yang kubawa tadi. Iringan lagu berjudul ‘Kawan, Aku Pulang’ seolah menjadi soundtrack yang menyambutku datang ke café ini. setelah sekian lama, setelah enam bulan lamanya aku tidak pernah mengunjungi tempat ini.
Cappuccino [Photo: Pexels] |
“Kak, lama tidak kelihatan. Pesan apa?” Tanya Aqib, lelaki berwajah manis yang selalu datang menyodorkan menu padaku.
“Biasa saja. Cappuccino.” Jawabku sambil melayangkan senyum termanis. Seolah mereka merindukan senyuman manisku.
“Hot? Iced?”
“Hot”
“Baiklah. Kemana saja tidak pernah kelihatan, kak?”
“Sibuk sedikit. Qib, tolong wayer-nya, ya. Kurang nih!”
Aqib mengangguk dan meninggalkan mejaku. Aku membuang pandang keluar jendela sambil menunggu internet terkoneksi dengan laptopku dan membiarkan seluruh program yang terbuka bekerja maksimal. Pandanganku tertuju pada sebuah rumah makan di depan Coffe(in). masih sama seperti enam bulan lalu. Parkirannya penuh dengan sepeda motor dan mobil mungil.
Gila!
Banyak sekali yang berubah dari Banda Aceh. Baru enam bulan saja aku meninggalkan Banda Aceh, ketika aku kembali semua sudah berubah. Sifat konsumerisme penduduknya semakin meningkat. Gaya hidupnya semakin berkelas. Mahasiswanya semakin bergaya elit. Biaya hidup smakin mahal.
Aku sungguh tidak mengerti bagaimana cara pandang masyarakat Aceh sekarang ini. Katanya perubahan sosial ini mulai menunjukkan gejala hedonis sejak organisasi non pemerintahan masuk ke Aceh. Membagikan uang dengan bekerja sedikit. Selama lima tahun masyarakat Aceh seperti dimanjakan dengan mudahnya mendapatkan uang. Berpangku tangan, dapat uang. Kerja satu jam, dapat uang yang jumlah biasanya harus bekerja seminggu. Mereka semakin dimanjakan.
[Photo: Pexels] |
Tidak juga, kupikir semuanya memang sudah harus berubah. Berubah ke arah lebih baik. Mungkin saja posisi kedai ayam bakar di warung di depan café ini juga salah satu alasan mengapa aku harus menerima perubahan. Kedai itu tidak pernah sepi. Kolak dingin yang menjadi andalan sudah tidak tenar lagi. Hanya ayam bakar yang terus diincar. Konon katanya chef-nya menua seiring megahnya kedai itu.
Di kedai itu sebuah kenangan pahit pernah tercipta. Aku mencoba mengalihkan perhatian dari kedai ayam bakar ke café ini. Tapi aku masih belum bisa move on. Aku masih duduk di dekat jendela kaca yang lebar, membuang pandangan ke kedai ayam bakar itu, membayangkan kenangan-kenangan kami.
Come on, life must go on!
Ah, teori. Nyatanya banyak orang patah hati yang masih mengikuti mantan kekasihnya yang sudah menikah. Mencari tahu dan menangis di atas kebahagiaan sang mantan. Aku tidak begitu. Aku sudah memblokir segala hal tentang dia dan berhenti mengikuti apapun yang berkaitan dengan aktivitasnya. Termasuk menarik diri dari komunitas yang melibatkan dia dan aku bersama. Cerita kenangan kami hidup di dalam setiap cerita yang aku rangkai ditemani secangkir kopi.
Cappuccino. Hot.
“Silahkan, kak.” Aqib kembali dengan secangkir gelas bermotif etnik warna cokelat. Crema di permukaan berbentuk dua hati menyatu dengan titik-titik bintang. Artistik. Aku tahu bukan Aqib yang menjadi barista cappuccino hot-ku. Seseorang yang tidak pernah bicara sepatah kata pun, tapi selalu memberikan sajian terhangat. Dialah baristanya. Bahkan aku tidak mengenal namanya hingga kini.
“Cappucino. Hot” Aqib menyebut pesananku. Kuacungkn kedua jempol. Lalu pandangku beralih ke layar laptop yang menampilkan seorang gadis tertawa girang di tengah hamparan bunga tulip dengan tatanan warna bertingkat. Jingga, ungu dan merah. Gadis itu adalah aku, setahun setengah yang lalu. Ketika hatiku masih baik-baik saja.
Cappuccino.
Entahlah. Sejak aku mengenal cara meneguk kopi tanpa merusak seni yang dilukis di permukaan, aku menjadi kecanduan. Diriku yang lain memaksaku mencintai kopi. Seperti ada rangsangan khusus yang terjadi antara koneksi otakku dengan secangkir cappuccino. Hanya cappuccino.
Pada dasarnya aku bukanlah pecinta kopi. Sangat aneh ketika seorang perempuan yang lahir dan besar di kebun kopi tidak pernah tahu caranya minum kopi. Tidak pernah mencicipi sensasi setetes kopi asli masuk ke dalam kerongkongan. Aku terbiasa menikmati kopi sachet. Apalagi yang diiklankan oleh si tampan asal Korea. Aku gila padanya dengan mimpi akan menjadi duta minum kopi sachet dan dipertemukan dengannya.
“Cobalah dengan Mocca Latte,” katanya ketika aku tidak ingin memesan kopi apapun. Tapi lebih memilih minum chocholate milkshake atau strawberry milkshake. “Milkshake tidak sehat untukmu.”
Aku menggeleng saja waktu itu. Aku tetap menulis menu lain di kertas orderan menu. Selain milkshake tentunya. Jus wortomsu, wortel tomat susu. Dia membaca pesananku dan tertawa kecil. Hanya leletan lidah yang aku tunjukkan padanya. Bentuk ketidak pedulianku. Aku tidak suka kopi.
“Kau harus coba ini. Cappuccino. Cocok untuk karaktermu, Marinka” tanpa persetujuanku dia mencoret jus wortomsu dan mengganti dengan cappuccino. “Kau mau dingin atau panas?”
“Dingin”
Di sinilah semuanya bermula. Hanya beberapa bulan kemudian berakhir dengan sadis.
Siang itu kami makan di kedai ayam bakar. Dia mentraktir makan apa saja. Dia berjanji akan membayar semuanya. Seberapapun banyaknya aku makan. Usai makan dia mengajakku kemari. Dia memintaku untuk memesan apa saja yang aku mau. Sama seperti pikiran sebelumnya, ini adalah kesempatanku untuk makan banyak dan gratis.
Ayam bakar, kolak dingin, es cincau, cappuccino dingin, French fries, indomie sayur mayor spesial. Done! Aku kekenyangan.
There is no free lunch in the world.
Kutipan itu benar adanya. Ketika mulutnya terbuka, semua kebahagiaan yang aku rasakan selama dua jam berubah menjadi hujan air mata yang tak kunjung berhenti.
“Kita harus berakhir. Kita tidak bisa bersama lagi, Marinka. Kau tahu kan?! Jarak dan status sosial kita terlalu jauh berbeda. Aku ingin menolongmu. Aku tidak bisa. Kau tahu, Marinka? Ibaratnya aku dan kamu berada di dua pulau. Kau ada di pulau Sumatera dan aku di Kalimatan. Hanya pesawat terbang yang bisa menghubungkan kita selama lebih dari lima jam. Kita tidak bisa terhubung hanya dengan kapal cepat yang tertempuh 45 menit. Kau terlalu jauh, Marinka.” Ucapnya tanpa melihat mataku.
“Maksudmu? Apa yang kau maksud terlalu jauh?”
“Kita tidak bisa saling melihat satu sama lain. Seseorang yang lebih sejajar sedang dipersiapkan untukku. Sungguh. Kau tahu bukan? Seorang anak yang baik adalah yang berbakti.”
Done.
Itulah pertemuan terakhir kami di Coffe(in). Kami tidak pernah bertemu lagi. Kami tidak pernah membuat janji lagi. Tapi aku tetap berada di sini, duduk di tepi jendela dengan segelas cappuccino. Hot. Ya, hot. Aku sudah menggantinya dari dingin ke panas.
Tiga puluh jam menjelang keberangkatanku ke Auckland, aku melihatnya lagi. Ia keluar dari kedai ayam bahar bersama seorang perempuan. Ia amat aku kenal. Gadis pecinta kopi. Wajahnya sering muncul di televisi. Ia menggandeng mesra dia yang pernah mengenalkan aku pada kopi.
Cappuccino. Hot.
Aku memiliki filosofi sendiri tentang cappuccino hot yang aku pesan. Aku punya jadwal memesannya. Pagi sebelum siang, ketika aku duduk di coffe(in) dengan niat menulis. Aku tidak akan pernah memesan yang dingin. Karena dingin menggiringku melirik masa lalu bersamanya.
Hot. Panas.
Ia memberikan sensasi mencairkan sisi ego dan memaksaku untuk memaafkan tanpa syarat. Tegukan pertama, aku akan merasakan aroma dan rasa susu. Saat itulah aku diajarkan indahnya hidup dalam perpaduan. Tegukan kedua, rasa pahit kopi. Itulah artinya hidup. Tegukan ketiga, aku tidak tahu apa-apa lagi. Lupakan. Biarkan semuanya menjadi kenangan.
[Photo: Pixabay] |
Cappuccino. Hot. Semua bercerita tentang rasa.
“Kak, sebagai pelanggan terbaik, kak Marinka mendapat bonus secangkir Gayo Old Coffee White Black and White Cookies.”Aqib kembali dengan gelas berbentuk stoples. Penampilan minuman ini sangat cantik.
“Dalam rangka apa? Kontes?” tanyaku dingin.
“Baristanya ingin mentraktir,” Aqib menunjuk sebuah kertas putih kecil terlipat dua di bawah gelas.
Begitu Aqib pergi aku membuka surat kecil itu. Ada tulisan tangan rapi ditulis dengan pulpen gel hitam.
Hi Marinka,
Cappuccino hot tidak akan melupakan masa lalumu yang indah. Semanis apapun cappuccino hot aku racik untukmu, rasa pahit tetap akan tersisa di ujung lidah. Begitu pun dengan hidup. Seberapapun usahamu melupakan masa lalu, selama kau masih hidup dengan masa lalu. Kau tidak akan pernah bisa move on. Try this! I bet you will love it. Kau tahu? Whipped cream putih ini akan menunjukkan jalan untukmu meninggalkan masa lalu. Cookies akan menuntunmu untuk melihat hitam putih kehidupan dengan cara yang manis. Kopi susu adalah semangat mencari kehdiupan yang baru. Kau boleh memilih untuk memakan butir kopi atau meninggalkannya. Jika kau memilih memakannya, kau tidak akan pernah melupakan rasa pahit. Jika kau memilih meninggalkannya. Kau harus berusaha menyisihkannya dari minumanmu. Kau pilih mana?
Your fans.
Kuletakkan surat di antara laptop, gelas kopi, cappuccino hot yang tinggal setengah, ponsel dan sebuah sobekan boarding pass tiket menuju Auckland. Aku menjepret semuanya sekaligus dengan kamera poket yang selalu aku bawa.
Kuteguk minumanku. Dia benar. Aku lupa untuk menghabiskan cappuccino hot-ku. Kurasa aku sudah move on.
Posting Komentar