Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Full Naked!

Kami berbincang satu jam lebih. Dia berkata, aku tidak seharusnya kabur. Apalagi sampai meninggalkan karya besarku.

 Full!

Itulah satu kata yang aku tangkap dari Facebook, platform sosial media yang sudah aku gunakan satu dekade ini. Mungkin saja Mark Zuckerberg harus memberikan penghargaan atas loyalitasku tentang hal ini. Bayangkan saja, sejak Facebook populer di tanah air, aku mulai membuka akun dengan email yang entah apa. Aku sudah lupa. Tiap pembaharuan yang terjadi, aku termasuk orang yang lebih dulu mengupgrade akunku dibanding teman-teman. Aku juga orang yang memanfaatkan semua fitur yang disuguhkan Facebook dengan suka cita.

Siapa yang paling aktif menulis catatan di Facebook? Kujelaskan pada kalian, meskipun aku bukanlah penulis yang dikenal dengan karyaku, aku paling rajin menulis di Facebook. Coba cek saja, ada satu novel yang sudah selesai aku tulis dan aku publikasikan di Facebook. Tidak banyak yang memberikan klik pada tanda suka. Hanya sekitar 20-an saja dari jumlah temanku yang mencapai ribuan itu.

Facebook
[Photo: Pexels]

Soal foto? Aku juga paling rajin mengupdate-nya. Bahkan aku menambahkan satu foto di satu album setiap saat. Sudah aku bagi albumnya. My Journey, bercerita tentang perjalananku ke suatu daerah. My Activity, seluruh kegiatanku yang sifatnya mengarah ke perjalanan karir. Campus, kehidupanku di kampus. Hon, buku-buku dan ulasannya yang aku tulis dan aku rekomendasikan untuk teman di Facebook. Little Things, semua koleksiku yang terbaru seperti tas, dompet, baju dan lain-lain.

Lihat! Kurang berguna apa Facebook untukku? Tapi ya begitulah… Semua orang tidak berada di tempat yang sama untuk selamanya. Kemudian mereka move on ke platform Path, sosial media ciptaan Kolombia dan menjadikan Indonesia sebagai market tester-nya. Mereka ingin uji coba dulu, jika Path berhasil di Indonesia, maka negara lain juga akan diperkenalkan.

Satu persatu temanku di Facebook mulai menghilang. Bahkan jika aku berkunjung ke berandanya, mereka melakukan pembaharuan aktivitas sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Aku masih setia di sini, dengan Facebook dan semua keluh kesah yang mengisi beranda. Teman-teman baru bermunculan, kenalan baru mengajak berteman, jumlah like pada setiap postingan meningkat hingga angka seratusan. Masalahnya aku tidak mengerti,  mengapa Facebookku sudah full sementara aku tidak menemukan sesuatu yang menarik dari teman-teman di dunia maya ini.

Aku pernah bertanya kepada temanku soal kenapa Facebookku penuh. Dia menanggapi, “Gampang lah! Tinggal buat saja halaman tentang dirimu. Kailina Lin. Begitu. Nanti yang ingin tahu segala hal tentang dirimu akan mengikuti halamanmu saja. Tidak perlu repot dengan persoalan akun Facebook sudah penuh.”

“Aku tidak bisa melihat apa yang mereka tulis. Aku tentunya harus buat Kailina Lin Part II untuk antisipasi pertemanan yang membludak di Facebook.”

“Kau tidak seterkenal itu, Kai. Percayalah, kau tidak perlu membuat Kailina Lin Part II atau sejenisnya. Tidak juga yang akan memakai Facebook.”

Aku camkan kalimat itu. Ya, aku tidak seterkenal itu. Apa yang aku lakukan justru sangat menyakitkan bagi orang lain. Aku membuka daftar pertemanan, melihat dan mecoba mengenali nama-nama yang terkadang aneh sebagai nama akun Facebooknya. Aku sendiri pernah melewati masa alay dimana menuliskan namaku sebagai Aisuru Yoroshii dan menggantikan fotoku dengan gadis Jepang berkimono. Saking cintanya aku pada negara mantan penjajah Indonesia. Semua teman yang memiliki jumlah pertemanan yang sama denganku hanya lima orang, akan aku hapuskan. Kecuali aku mengenalnya atau kami pernah bertemu di salah satu tempat di bagian bumi ini.

Tapi aku alpa, terkadang menghapus teman yang memang saling mengenal. Hanya saja jumlah pertemanan kami hanya satu orang yang sama. Dia meneleponku dari Turkmenistan, “Sepertinya aku sudah kehilangan jejakmu di Facebook. Aku tidak menemukannya lagi, Kai. Bolehkah kau menambahkan aku di Facebok? Temanmu terlalu banyak. Aku tidak bisa menambahkan kamu.”

Petualanganku untuk mengecek teman tidak aktif, akun double dan tidak penting dimulai lagi. Demi menambahkan temanku dari Turkmenistan ini menjadi teman. Sebenarnya lebih kepada apresiasi sebagai teman saja. Simbolis bahwa kami pernah berteman di dunia nyata. Di luar itu, apa yang bisa diandalkan. Aku selalu mengupdate status dalam Bahasa Indonesia. Bahasa yang sama sekali tidak dia pahami. Dan dia menulis dalam Bahasa Rusia. Jadi aku bisa apa.

Setelah bertahun-tahun dikenal seagai penulis Facebook, seorang pembaca Facebook mengirimu sebuah pesan di inbox. Dia mengungkapkan diri sebagai salah seorang fans berat tulisanku. Katanya sangat inspiratif dan menarik untuk diikuti. Didorong rasa penasaran, aku masuk ke berandanya, mengecek pertemanan yang tidak dibuat privasi. Voila! Dia hanya berteman dengan para nama kondang di dunia perbukuan.

Dia menyarankan aku untuk membukukan semua catatan di Facebook. Termasuk di dalamnya status-status yang belakangan aku tulis lebih bijak dengan sudut pandang seorang sarjana sosial. Kukatakan padanya bahwa aku tidak mempunyai dana untuk menerbitkan mereka semua. Dan tentulah untuk jenis tulisan itu jarang sekali ada penerbit yang mau menampung. Penerbit melihat geliat dan selera pasar. Jika berbau sampah seperti tulisanku, siapa pula yang mau menebitkan.

dunia perbukuan
[Photo: Pexels]

Sebulan berlalu sejak perbincangan melalui inbox itu. Pengguna misterius yang menamai dirinya ‘Full Naked’ mengirimkan beberapa gambar, hasil print screen email dan juga tawaran penerbitan.

Kubaca dengan seksama semua isinya. Jelas, itu namaku dan jelas pula, beberapa tulisan di halaman itu adalah tulisan yang pernah aku tuliskan di beranda Facebook. Dia mengatakan bahwa penerbit sudah setuju menerbitkan karyaku. Dia mengucapkan selamat dan menyarankan aku untuk membuat halaman baru. Halaman yang menunjukkan identitasku sebagai penulis, Kailina Lin.

Aku tidak bisa berkata-kata. Selama sehari aku senang sekali. Batinku bergolak tidak percaya bahwa aku bisa sudah mempunyai buku dari penggemar rahasia yang bernama full naked. Kuceritakan ini pada temanku yang selalu mengatai aku bukan siapa-siapa.

“Dari namanya saja dia sudah aneh. Apa kamu pikir tidak ada udang di balik bakwan. Bagaimana kalau dia pengikut aliran sesat dan memintaku untuk bergabung sebagai bayaran jasanya. Kau terlalu lugu, Kai.” Katanya menakuti.

“Baiklah. Aku akan menolak.” Kataku mantap. Tidak lagi aku pikirkan atau kroscek tentang apa yang disampaikan oleh temanku.

Siang itu, si Full Naked berkata  bahwa bukuku akan siap terbit. Dia senang sekali membayangkan akan banyak orang lain yang ikut membaca tulisanku. Sekalipun aku tidak mempunyai pengikuti di halaman Facebook. Tapi aku akan terkenal.

Sebelum terpengaruh dengan kata-katanya, aku langsung menghapus pertemanan dengannya. Kemudian memblokir dia sebagai teman agar tidak bisa lagi meminta permintaan pertemanan. Kini facebookku sudah berkurang satu orang, siap untuk diisi oleh orang baru. tidak akan ada permintaan untuk mengikuti satu ajaran sesat karena terhutang budi.

Seperti yang aku katakan, banyak yang mengantri untuk menjadi temanku di Facebook. Tapi hanya satu orang saja yang akan mengisi ruang pertemanan ini. Aku mengecek satu persatu nama dan jumlah mutual friend. Ada seseorang bernama Abdurrahman Wahid dengan foto di pantai entah mana. Ini bukan presiden Indonesia, dia hanya seorang teman yang kebetulan namanya sama.

Konfirmasi. Kami resmi menjadi teman.

Sebuah pesan langsung masuk ke dalam inbox, dari dia. Si pemilik nama kembar dengan mantan presiden Republik Indonesia. Dia menulis, “Kai, kenapa kau blokir aku. Lupa denganku? Aku Rahman, teman SD-mu dulu. Aku memang punya dua Facebook. Satu nama pena dan satunya lagi hanya untuk pertemanan. Aku belum selesai bicara, tahu?!”

Tanganku gemetar dan mengetik satu dua kata sebagai balasan, “Full Naked?”

Kami berbincang satu jam lebih. Dia berkata, aku tidak seharusnya kabur. Apalagi sampai meninggalkan karya besarku. Entahlah… Dunia maya memang aneh. Aku pun masih tidak percaya, orang yang dulu paling kecil dan diejek paling bodoh sekarang sudah menjadi ahli marketing.

Ya, dia. Full naked, alias Abdurrahman Wahid.

*

Lambunot-Indrapuri, 27 November 2017

Untuk Fesbukers yang selalu menanti status day by day.

Posting Komentar