Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Pertemuan Ketigabelas

Di kampus, seseorang baru saja mengingatkan aku untuk berhati-hati dengan mahasiswa mana pun. Kami baru saja membahas kasus penempakan rektor di Aceh.

  “Bu, ini bukan soal mau tidak mau, lho, bu. Sesuai dengan peraturan dari akademik, pertemuan kita harus lengkap minimal tiga belas kali pertemuan, lho, bu. Jadi, ini sebabnya saya menghibau teman-teman untuk semuanya datang dan berpikir bagaimana kelas kita bersama ibu. Gitu, lho, bu.” Muna, salah seorang mahasiswa di kelasku memberi saran sekaligus menohokku.

Hari ini aku sedang membicarakan tentang jam ganti pertemuan sekitar dua sampai tiga kali lagi di kelas mata kuliah Jurnalisme Damai dan Bencana. Aku sudah tahu jawaban mereka. Jadwal penuh seharian, pulang kampung, tidak ada lokal, sampai alasan remeh temeh yang tidak bisa aku terima secara logika. Aku pahami, mungkin metodeku mengajar sedikit membosankan. Mungkin mereka tidak menyukaiku. Sederet mungkin lainnya juga membenarkan aku dan semua alasan mereka.

pertemuan ketigabelas
[Photo: Pexels]


Munandar, biasa disapa Muna. Sama seperti namanya, dia tipikal mahasiswa yang munafik. Di depanku dia seolah keras dan berpihak. Di belakangku, dia luar biasa lancang bicara. Wajah innocentnya hilang seketika. Di mataku, track recordnya sudah jatuh karena beberapa sebab. Salah satunya ketika dia memaksa untuk memenuhi tiga belas kali pertemuan semester lalu. Ya, ini semester kedua dia masuk di kelasku. Mata kuliah ketiga pula.

“Jangan munafik, brojak. Kamu di depan ibu ngomongnya lain, di belakang ibu ngomongnya lain. jangan cari muka!” Veer, pemuda berwajah India kekanakan protes. Brojak, sebutan ini disematkan untuk Muna sejak dia pulang dari Jakarta. Brother Jakarta. tidak ada yang tahu maksudnya, hanya dia yang benar-benar tahu.

“Bukan munafik, oppa. Kita bayar SPP. Apa kalian tidak sayang kepada orang tua kalian di kampung. Bayar SPP mahal-mahal, tapi kita masuknya hanya beberapa kali?” Muna kembali berorasi. Tidak heran jika dia kerap dipilih sebagai pimpinan aksi. Kalimatnya memang menohok sekali.

“Brojak, kita juga harus harga dan terima alasan ibu tidak masuk. Kalau ibu bisa memahami kita, kenapa tidak bisa?” Veer mencoba membela dengan alasan yang masuk akal.

“Veer oppa, jangan halu siang-siang begini. Kalau kamu tidak mau masuk tidak masalah. Jangan mengorbankan teman-teman lain yang sudah membayar SPP mahal-mahal.” Muna kembali menuding Veer yang dipanggil oppa. Panggilan ini diberikan kepada Veer karena dia suka menonton drama Korea melebihi mahasiswi di kelasnya.

Di depan kelas, aku menonton perdebatan panjang antara Veer dan Muna. Tidak ada habisnya. Aku berharap Wandi dan Mimi yang dituakan bisa mengatasi masalah ini secepat mungkin. Biasanya, ketika mereka angkat suara masalah akan lebih cepat selesai.

“Silahkan kalian berdiskusi di luar kelas, saya masih ada kelas lainnya. Sampaikan keputusan rapat pada saya, ya. Segera.” Kataku menutup pertemuan. Lantas keluar kelas.

Di luar kelas, kepalaku pusing sekali. Aku memilih  mengademkan diri di ruang jurusan sambil mengecek absen pertemuan mahasiswa dan mengecek buku agendaku. Adakah yang harus aku selesaikan hari ini? Ternyata tidak. Hanya pertemuan terakhir di kelas itu.

[*]

Beberapa hari kemudian aku mendapatkan pesan dari Muna untuk menggenapi kelas yang belum cukup itu. aku masuk dengan membawa absen. Mereka menghubungiku mendadak. mereka bilang mereka punya waktu jam ini karena ada dosen tidak masuk. Aku sudah menebak, mereka pikir aku tidak akan bisa. Kesempatan ini bisa dimanfaatkan oleh mereka untuk menghakimi aku.

kelas ketigabelas
[Photo: Pexels]


Aku masuk dengan tampang-tampang tidak bersalah menanti. Aku bentangkan absen di atas meja. Aku mengecek nama-nama yang malas masuk kelas. munandar, dia paling jarang masuk dan dia menuntut pertemuan ke-13. Hari ini adalah pertemuan ke-15 belas. Artinya aku sudah boleh memberikan final kepada mereka.

Aku duduk di depan mereka sambil memperhatikan wajah mereka satu persatu. Adakah yang terlihat seperti tidak senang dengan pertemuan ini? ternyata hampir separuhnya. Bahkan mahasiswa paling berprestasi pun tampak ogah-ogahan berada di kelas. ada apa dengan kelasku?

“Kita sudah genap tiga belas kali pertemuan. Ini pertemuan keempat belas. Jadi siapa yang bilang kita tidak cukup kelas? pasti dia yang malas datang,” ujarku ketus.

“Begitulah, bu. Berarti ada yang salah dengan si pembicara,” kata Muna seolah dia bukan dalang keributan di kelas ini.

Kutarik napas dalam-dalam. Sekali lagi, aku harus bersabar. Hal yang perlu aku jelaskan adalah bagaimana menjelaskan apa yang harus dikerjakan di final nanti. Tanpa menunggu persetujuan mereka, aku mengambil spidol dan mulai menulis di papan tulis. Terkadang aku berpikir, apa aku yang salah mentranfer ilmu pada mereka. Sampai mereka tidak paham apa yang aku maksud?

“Bu, nggak ngerti!” Nani, si mahasiswi terbaik bersuara dengan membanting intonasi dan pecah di sudut hatiku.

Aku menahan napas dan jantung yang berdetak lebih cepat. Aku ulangi penjelasan dengan berbagai metode. Berharap mereka memahaminya. Aku mulai lelah. Rasanya aku ingin menangis karena kesal.

“Sudahlah, jangan mempersulit ibu seperti itu. Ini bukan tindakan yang baik.” Aku dengar sayup-sayup salah saorang dari mereka berkata. Ntah siapa, bukan Muna dan bukan pula Veer. Tidak satu pun dari mereka.

Kali ini aku benar-benar ingin menangis. Aku dikerjain kelas ini. aku menggeram, tapi terlihat bersabar di depan mereka. cara yang paling ampuh untuk mengalahkan trik mahasiswa adalah dengan cara mengikuti trik yang sama dengan mereka.

“Begini saja, saya akan kirimkan contoh. Silahkan mengerjakan seperti yang kalian pahami. Bagaimana pun itu saya terima beres saja. nilai ya sesuai usaha. Rasanya nggak adil kalau saya mengulang berpuluh kali tapi kalian pasang kuping tembok. Sekerasnya batu bisa luluh ditetesi air puluhan kali, masa kalian yang manusia tidak. Kecuali kalian manusia batu,” kataku dingin.

Kulihat mereka semua terdiam dan mulai awas. Mereka tidk akan percaya aku juga bisa mengimbangi trik mereka. bahkan aku permisi sebelum kelas berakhir. Kesal dan kecewa dicampur emosi.

 

[*]

 

“Bu, ada sesuatu yang sangat penting tentang mata kuliah kita. Boleh saya bertemu dengan ibu? Ini sangat penting!” Aku baru saja memarkit motorku di rumah. Lima menit yang lalu aku di kampus. aku kaget mendengar suara Ais di voicenote Whatapp.

Mengirim pesan voicenote
[Photo: Pexels]


Aku tidak segera membalas. Aku butuh menenangkan diri dulu sebelum menjawab dan salah langkah. Setelah mandi, aku mulai menebak-nebak apa yang gerangan terjadi di kelas itu. apa yang membuat Ais sangat cemas. Apa anak-anak itu sedang mempersiapkan diri untuk mendemoku? Mahasiswa sekarang memang susah ditebak.

“Ais, silahkan kirim teks atau voicenote saja. terima kasih,” aku membalas melalui voice note. Kemudian masuk ke kamar, mendirikan sholat, memohon ketenangan kepada Allah.

Di kampus, seseorang baru saja mengingatkan aku untuk berhati-hati dengan mahasiswa mana pun. Kami baru saja membahas kasus penempakan salah satu rektor universitas Islam di Aceh pada masa konflik. Professor Shafwan Idris yang sangat dekat dengan mahasiswa meninggal dengan sebutir peluru bersarang di kepala oleh petrus yang diduga mahasiswanya. Kami membahas itu dan aku sangat kepikiran.

“Jadi begini, bu. Muna dan Ais kan satu kelompok tugasnya. Ais salah meletakkan di atas meja. Kakak Ais membuang ertas itu dan sekarang tugas final kami sudah dibawa oleh truk sampah. Jadi kan bu, boleh tidak minta waktu untuk tulis ulang. Pintu ulang. Jadinya agak keluar dari  deadline yang ibu berikan,” suara Ais ragu-ragu dan cemas diirim melalui voicenote.

Aku menarik napas lega. Hah, kenapa dia tidak bilang dari tadi. Buat khawatir saja. aku membalas dengan teks.

Boleh. Tidak lebih dari 24 jam setelah pesan ini kamu terima.

Dia membalas dengan ata terima kasih. Aku tidak membalas lagi.

Posting Komentar