Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Perempuan Farel

pakah aku harus membeiarkan Farel bermusuhan dengan teman-temannya yang lain hanya karena seorang perempuan?

 “Dia gadis yang luar biasa, Kak. Dia gadis yang tak pernah kutemui dari gadis-gadis lainnya. Ia begitu istimewa. Setelah ditinggal kawin oleh Putri, sepertinya dialah yang luar biasa dalam hidupku,” cerita Farel padaku. Aku mengangguk-angguk mendengarkannya.

Sampai sekarang aku belum tahu siapa gadis yang dimaksud itu. Farel selalu bercerita bahwa ia begitu istimewa. Mungkin setiap perempuan akan merasa kesal jika terus-terusan mendengar cerita Farel. Tapi sebagai sahabat, kakak bagi Farel, aku tetap harus mendengarkannya. Aku harus menjadi sosok kakak yang baik juga. Bagi Farel dan bagi yang lainnya.


Perempuan Farel
[Photo: Pexels]

Satu kepercayaan jika ia bercerita padaku. Aku bahagia, satu sisi. Sisi lain mengapa aku merasa benci sekali pada perempuan yang dimaksud itu. Padahal aku sama sekali tak mengenalnya. Namun dari ceritanya, aku ragu gadis itu akan menjadi pendamping hidup Farel, seperti yang ia harapkan. Impiannya semu belaka.

“Kakak tahu? Dia itu punya kepribadian dan talenta luar biasa. Jarang gadis lain memilikinya. Dia satu-satunya yang aku temui. Luar biasa,” wajahnya berseri. Dua lesung pipi di wajah baby-nya terlihat indah, seindah wajahnya sore itu. Aku kembali mengangguk, tentu dengan tetap tersenyum.

Kata-kata seperti itu, dengan kalimat yang sama, ekspresi yang sama sudah berulang kali aku dengar dari mulut Farel. Sepertinya kepribadian perempuan itu membuatnya bahagia. Talenta yang dimilikinya suatu kebanggaan bagi Farel luar biasa gadis itu jika tahu apa yang terjadi.

Hanya satu hal keherananku. Dia tak berubah, Farel maksudku. Sama sekali ia tak mengubah penampilannya. Masih sembarangan tanpa peduli kalau ia sedang jatuh cinta. Berbeda dengan orang-orang jatuh cinta lainnya. Ia lebih terlihat jorok. Bajunya masih kaos oblong yang dipakai empat hari lalu, celana kedodorannya juga sudah dua minggu dipakai. Kulit hitamnya tak semata-mata karena dibakar matahari. Tapi juga karena ia malas membersihkan diri. Bagaimana perempuan bisa betah dengannya? Firasatku mengatakan kalau dia akan tersakiti lagi.

Sebelumnya pernah disakiti oleh seorang gadis juga. Dikhianati lebih tepatnya. Farel jatuh cinta kepadanya dengan sepenuh hati. Bersaing dengan beberapa teman bukan masalah buatnya, teman-teman lebih memilih menyerah daripada bersaing mendapatkan gadis itu. Bukan karena bersaing dengan Farel, tapi gadis itu sama sekali tak menarik dan tak ada istimewanya.

Demi mendapatkan Putri, ia rela berubah. Sesuai dengan syarat yang diajukan oleh Putri memang. Mereka pacaran tak lama, hanya dua bulan. Diam-diam selama pacaran dengan Farel, Putri telah bertunangan dengan seorang lelaki lain. Masih terhitung dekat dengan Farel. Farel lebih tak menyangka karena ia dijadikan pelarian oleh Putri. Tak hanya itu, tunangan Putri menyembunyikan hubungan mereka pada Farel. Sehari sebelum undangan itu datang ke tangan Farel, mereka masih jalan-jalan berdua. Bahkan Putri tak pernah menyampaikan sepatah katapun pada Farel.

Sejak kejadian itu, Farel tak pernah jatuh cinta lagi pada perempuan mana pun. Ia tak mau mengenal perempuan lebih jauh. Ia kembali berubah hancur-hancuran seperti sedia kala.


Cerpen Ulfa Khairina
[Photo: Pexels]


“Dia manis sekali, Kak. Dia selalu terlihat ceria di manapun, kapanpun. Aku benar-benar menyuakainya, Kak. Kalau tak melihatnya, aku yakin Kakak juga akan menyukainya,” ujarnya yakin.

“Aku harap kamu tidak patah hati lagi dengan pilihanmu kali ini, Rel” Ucapku mengingatkan.

“Kak Eka tenang saja. Dia bukan Putri, kak. Dia tak akan mengkhianatiku lagi. Kalaupun iya, mungkin itu sudah takdirku. Tapi aku yakin takkan gagal untuk kedua kalinya, Kak.”

“Kakak harap begitu, Rel. Tapi siapa sih gadis itu? Kamu cerita terus sama aku, namanya aja kamu nggak sebutin siapa?”

“Hahahaha.” Dia tertawa lebar.

“Kenapa ketawa? Kamu ini ditanya nama kok malah ketawa,” aku mulai kesal.

“Kak Eka sepertinya penasaran sekali ya sama gadis itu?”

“Ya, iyalah. Tahu cerita,  harus tahu tokohnya, dong. Masa setengah-setengah. Siapa? Kalau kamu nggak bilang namanya, aku nggak akan dengar lagi cerita kamu yang terus kamu ulang-ulang itu.”

“Namanya, hihiih, malu, kak.” Tingkah laku kekanakannya muncul. “Namanya Windy,” akhirnya dengan malu-malu sebuah nama meluncur dari mulutnya.

Aku hanya tersenyum mananggapi nama yang ia sebut. Windy, nama yang bagus. Sebagus gambaran Farel tentang gadis itu. Mudah-mudahan ia benar-benar menemukan cinta sejatinya. Aku yakin, Windy bukan Putri.

Namun ada sesuatu yang mengganjal hatiku begitu tiba di rumah. Sepertinya nama itu pernah aku dengar sebelumnya. Sering disebut. Ya, sepertinya ia memang gadis istimewa. Karena hampir semua adik-adikku itu membicarakan Windy. Aku jadi penasaran dengan gadis itu. Aku harus mencari cara agar bisa bertemu dengannya.

Dua hari berbincang dengan semua adik-adik asuhku, aku tahu banyak tentang Windy. Informasi yang aku kumpulkan cukup membuatku puas.  Kurang lebih penggambarannya sama dengan apa yang dilukiskan oleh Farel.

Dari mereka pula aku tahu siapa lelaki lain yang tengah dekat dengan Windy. Dari gelagat yang kubaca, aku yakin Farel akan kembali kecewa. Sikap Windy juga menunjukkan kalau ia lebih cenderung memberi harapan kepada Riyan. Mereka bersahabat, jadi bukan tak mungkin kejadian yang sama akan terulang. Aku tak mau Farel kembali kecewa. Tapi di sisi lain dukungan untuk Riyan juga terbilang lebih kuat. Hampir semua inginkan Riyan segera jadian dengan Windy. Sisi lain aku tak ingin Farel kecewa, namun satu sisi aku mau Riyan juga mendapat belahan jiwanya. Entah kenapa, aku yakin kalau Riyan bisa bersama gadis itu, mereka akan bahagia dan Riyan merubah gaya hidupnya.

Pada dasarnya gaya hdiup Riyan dan Farel tak jauh beda. Keduanya sama-sama urakan dan kurang mengurus diri. Namun ada hal yang membedakan antara Farel dan Riyan. Mereka tak sama dalam merebut perhatian perempuan. Riyan lebih berani di belakang, sementara di depan gadis idamannya ia tak bisa apa-apa. Sementara Farel hanya memuji dan berani menunjukkan, namun takut untuk mengungkapkan.

*

Hari ini aku langsung bertemu dengan Windy. Farel telah mengaturnya. Suasana pertemuan ini tak enak, Farel terbakar api cemburu luar biasa melihat kedekatan Riyan dengan Windy. Aku juga melihat sesuatu yang beda dari pancaran mata Riyan. Ia begitu bahagia berada di dekat Windy.

“Kak Eka, itu lho gadis idamannya Riyan. Udah lama mereka dekat. Tapi Riyan juga belum ngungkapin perasaannya pada Windy. Keburu di ambil orang, baru deh,” cerita salah seorang adik didikku.

“Baru apa?”

“Baru sakit hati dia. Aneh ya, Kak. Riyan nggak bisa belajar dari pengalaman. Berapa kali coba dia gagal terus dekatin cewek”

“Jadi? Riyan memang suka sekali ya pada gadis itu? Namanya Windy?”

“Iya kak, Windy. Kakak temuin saja. Tanya perasaannya pada Riyan. Biar kita bisa urus semuanya. Lebih cepat lebih baik kan?”

Aku mengangguk-angguk. Kalau begini ceritanya mau bagaimana lagi. Aku harus berusaha bagaimana caranya menemukan sesuatu dari mereka. Setidaknya aku tak melihat kekecewaan yang lebih parah saat Windy bukan untuk Farel.

Setelah lama berbincang dengan Windy, aku baru menemukan apa yang dimaksud oleh Farel. Luar biasa. Kalau begini, jelas saja Farel tak bisa melepaskan Windy.

Dari perbincangan itu pula aku tahu kalau Windy sudah cukup dekat dengan Riyan. Dari cara ia berbicara dengan Riyan, ketika mendengar namanya disebut, ada getar-getar lain memperindah irama kata-kata Windy. Penafsiranku.... Windy lebih memilih Riyan dari pada Farel.

*

Pertemuanku dengan Windy seminggu lalu ternyata membuat Farel penasaran.  Sengaja aku tak menggubris panggilan telepon Farel, tak membalas pesannya. Bahkan aku mencari celah untuk kabur bertemu dengan Farel. Aku belum siap jujur pada Farel tentang anggapan dasar perasaan windy.

Sekarang aku tak bisa mengelak. Aku memang harus bertemu dengan Farel. Apapun resikonya, aku selesaikan di meja warung kopi. Kalau tidak, maka aku yang akan menyesal dengan keputusan mereka semua. Mereka yang terlibat cinta segitiga.

“Kak, akhirnya kita ketemu lagi. Sombong sekali, ya, tak menghubungi aku selama ini. Aku hubungi juga nggak dipedulikan,” komentar Farel kesal.

“Maaf, Rel. Aku sibuk sedikit akhir-akhir ini,” alasanku keluar tiba-tiba.

“Emmm, tak masalah. Aku cuma pengen tahu perkembangan bidadariku. Hehehehe.” Mulailah tingkah kekanakannya. Muncul lagi kalau situasi begini. Wajar kalau perempuan mana pun tak menaruh perhatian padanya.

“Sejak kapan kamu punya bidadari, Rel?”

“Sejak bertemu Windy,” ucapnya genit. “ Kak, tolong ceritakan soal Windy padaku. Tepatnya setelah kakak bertemu dengannya. Gimana, Kak? Kalau itu jadi istriku kelak, cocok nggak?” kali ini ia bersikap manja.

“Kalau aku bilang tidak cocok gimana?” pancingku.

“Ah, Kak. Jangan bercanda, deh. Aku bukan sehari dua hari kenal Kak Eka. Kakakku yang manis ini.”

“Iya. Kalau misalnya dia nggak suka sama kamu dan di hatinya ada lelaki lain. Gimana?”

“Ya nahas kali, ya. Kak, aku sudah survei. Dia nggak punya pacar alias jomlo”.

“Kalau dia dekat cowok lain kamu pasti cemburu, kan? Ngaku saja, Rel”

“Iya memang,” kali ini wajah Farel tampak sangat kesal.

Ia bercerita kalau sedang kesal pada Riyan. Alasannya tepat seperti tebakanku. Farel kesal karena Riyan mendekati Windy. Ia tak mau Windy malah pacaran dengan Riyan. Ini sudah menghambat pendekatan Farel pada gadis itu. Selanjutnya aku tak tahu lagi, apa yang akan terjadi. Apakah aku harus menjadi detektif lagi?

*

Dua minggu kemudian.

“Kakak tahu kenapa aku mengundang kakak kemari? Aku ingin bicara sesuatu.” Suara Farel terdengar serak.

Aku menatapnya. Apa yang ingin dibicarakannya? Sepertinya sangat penting. Apakah tema kali ini tema yang sama seperti hari-hari sebelumnya? Windy?

“Kak, aku sakit hati. Riyan pacaran sama Windy. Aku,” suara Farel tercekat, pertahanannya bobol. “Aku kecewa, Kak. Kenapa harus Riyan? Kalau saja Windy jalan dengan cowok lain yang aku tak kenal, aku tak terlalu sakit hati. Ini dengan sahabatku sendiri. Kakak bisa bayangin kan bagaimana sakit hatinya aku?”

“Ya, kamu sudah tahu kenapa Windy memilih Riyan, bukan kamu?”

“Karena Farel lebih dekat dengannya. Sedangkan aku tidak.”

“Lainnya?”

“Aku tak tahu kenapa. Aku sadar, hak Windy untuk memilih siapa yang akan jadi pendampingnya. Aku sesalkan kenapa mesti Riyan, Kak? Kenapa tidak lelaki lain saja.” Farel menunduk, menahan isak.

“Kalau kakak katakan Riyan lebih mengerti Windy, kamu setuju?”

“Sama sekali tidak”, jawaban Farel tegas. “Kakak tahu sejak kapan aku mulai mengincar Windy? Sejak ia masuk di perkumpulan ini. Sementara Riyan, baru setelah dua tahun aku mengenal Windy, baru ia mengenalnya. Aku sudah terlebih dahulu dekat dengan Windy. Jauh sebelum gadis itu mengenal Riyan. Mestinya Riyan sadar dari setiap curhatanku, aku menyukai Windy. Bukannya mencari celah di antara hubungan kami, kak.”

“Kamu yakin Riyan mencari celah?”

“Kalau bukan mencari celah apa lagi namanya, Kak? Aku pernah berkata pada Riyan, kalau kamu tidak mundur mendekati Windy, maka persahabatan kita putus. Ternyata dia tak mundur.”

“Jadi, hanya gara-gara seorang Windy kamu memutuskan persahabatan dengan Riyan?”

“Terpaksa, Kak. Ini sudah terjadi.”

“Maksud kamu?”

“Riyan sendiri yang memilih memutuskan persahabatan ini, Kak. Kalau Riyan tak mendekati Windy, atau Windy pacaran dengan orang lain, mungkin permasalahannya tak seperti ini, Kak. Aku sungguh tak bisa melupakan Windy.” Farel menangis. Mendadak ia menjadi sangat melankolis.

*

6 bulan kemudian.

Awalnya perbincangan di warung kopi itu aku anggap isapan jempol belaka. Mana mungkin Farel melakukan itu. Aku sangat mengenal mereka. Dia dan Farel tak bisa dipisahkan. Aku juga yakin kalau Farel cukup bijak untuk menghadapi permasalahan ini. Windy bukan segalanya.

Ternyata aku salah. Mereka memang sudah tak bicara selama berbulan-bulan. Farel belum bisa menerima kenyataan. Bahkan efeknya juga berdampak pada Windy. Farel juga memupuk amarah pada Windy. Jelas, kalau sekarang terjadi permusuhan di dalam persahabatan dikarenakan oleh cinta segitiga.

Seorang lelaki dengan wajah ceria mendekati aku. Dia sangat kukenal. Farel. Enam bulan ternyata telah memberi angin baru, ia tak lagi marah pada Riyan. Mungkin.

“Kak, aku mau cerita. Aku jatuh cinta lagi. Hihihi.” Kembali karakter kekanakannya muncul. Ciri khasnya jika jatuh cinta.

“Bagus lah, akhirnya kamu sadar kalau perempuan tak hanya Windy.”

“Bukan begitu, kak. Bagaimana pun aku masih mengingat Windy. Dia tak jua mau hilang dari benakku. Kali ini aku menyukainya, tapi tak separah aku menyukai Windy. Aku takut terluka lagi.”

“Oh, ya..? Kalau begitu kamu dan Riyan sudah seperti dulu lagi kan?”

“Kalau yang itu tetap tak bisa di ubah, Kak. Tali putus tak mungkin tersambung lagi.”

“Kenapa kamu tidak memulainya lagi, Rel? Kakak tahu, Riyan tak menaruh dendam padamu. Ayolah, kakak ingin kalian dekat kembali,” aku memohon.

“Kak, mau tidak aku tunjukkan gadis yang aku sukai sekarang. Kakak lihat perempuan yang jalan dengan Windy itu, ya.” Dia menunjuk ke belakangku.

Aku berbalik dan melihat gadis itu. Ah, ternyata dia. Dina. Aku yakin sekali Farel akan kembali kecewa lagi. Dina juga incaran teman dekatnya. Apakah aku harus membeiarkan Farel bermusuhan dengan teman-temannya yang lain hanya karena seorang perempuan? Setelah Putri, Windy, semoga cukup dengan Dina. Kecewa yang terakhir.

Posting Komentar