Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Resolusi Revolusi

Tahun ini. Aku harus menempatkan PINDAH RUMAH di resolusi pertama. Prioritas pertama.

 "Sebetulnya pria dan wanita adalah dua cabang dari pohon yang sama. Dua bersaudara dari ibu dan bapak yang sama, yaitu Adam dan Hawa."

(Dr. Yusuf Qardlawi)

-o0o-

"Sudah pengumuman, Lin?" tanya Bunda Salma padaku. Aku sengaja bertandang ke rumahnya untuk menghindari omelan dan nyinyiran Raisha di rumah. Tidak sehat untuk tumbuh kembang Abi.

"Belum, Bun. Mungkin minggu depan. Kabarnya awal bulan," jawabku meneruskan informasi yang aku dengar dan baca dari media daring.

rumah impian istri
[Photo: Pexels]


"Semoga kamu lulus ya, Lin. Sudah tidak tahan lagi saya lihat kamu di rumah itu," katanya dengan suara rendah. Wajahnya murung. Aku diam saja. "Kenapa, sih, kamu nggak pindah saja? Rumah kan sudah ada. Tanah juga sudah ada. Apalagi yang kalian tunggu? Tunggu ribut dan diusir?"

Aku diam lagi. Sebisa mungkin menahan diri tidak terpancing. Sebenarnya aku ingin curhat tentang situasi terkini di rumah. Aku tidak boleh lakukan jika tidak mau memperparah suasana.

"Doakan lulus, Bun. Biar aku bisa pindah. Langsung angkat kaki sejauh mungkin," kataku.

"Kami memang selalu berdoa buatmu, Lin. Takutnya kamu setelah lulus ingat pun tidak sama kami," ledek Bunda Salma.

Aku terkekeh. Sedikit terhibur. Tidak salah mengunjungi Bunda Salma. Selain masakannya enak, saat ini Bunda Salma paling memihakku. Di rumah sepertinya tidak ada yang memihak. Bahkan Hanin yang aku anggap paling netral pun tidak terlihat ada di pihakku. Dia cenderung membela Raisha, kakak kandungnya.

"Apa rencanamu kalau tidak lulus? Pindah sudah pasti, kan?" Bunda Salma masih mengorek informasi yang aku yakin ada pertanyaan titipan dari orang rumah.

Aku harus hati-hati menjawabnya, "eum, sebenarnya semua tergantung pada Bang Nadif. Bagaimana beliaunya."

"Halah! Nggak usah terlalu kau dengar si Nadhif itu. Dia tahu apa, Lin? Pergi pagi pulang malam. Kamu di rumah. Kalau ada apa-apa dia juga bakalan bela keluarganya. Sebaiknya berkeras untuk pindah sebelum kejadian," omel Bunda Salma lagi.

Aku penasaran. Ada cerita apa tentang aku belakangan, tapi aku bukan orang yang pintar mengorek informasi tentang orang lain. Apalagi tentang diriku sendiri. Aku lebih memilih tidak tahu apa-apa daripada baper.

"Bunda Salma tolong bilang sama Bang Nadhif lah, Bun. Kalau Bunda yang bilang pasti Bang Nadhif dengar," rayuku.

"Halah, malas aku bicara sama dia. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri." Bunda Salma membuang pandangannya ke arah rumah mertuaku.

Saat itu kami melihat Mama memarkir sepeda motor matic merah tuanya di depan rumah. Beliau masuk ke dalam rumah dengan menenteng plastik kresek biru yang terlihat basah. Tidak perlu mengecek ke rumah, aku pastikan Mama baru membeli ikan tuna ukuran besar untuk menu makan dua minggu.

Ya, dua minggu. Bukan Mama kalau tidak penuh perhitungan. Bahkan untuk makan pun beliau menahan diri. Tidak heran tanah dan sawahnya dimana-mana. Salah satu pemicu emosinya labil di musim sawah. Mama masih menggarap sawah sendiri, meskipun gajinya masih lebih dari cukup.

"Kamu ada belanja, Lin?" Bunda Salma melirikku. Aku tahu ini cuma klarifikasi atau pancingan.

"Bang Nadhif yang belanja sambil pulang kantor. Kalau aku kan nggak kemana-mana, Bun," jawabku apa adanya.

Kulihat garis bibir Bunda Salma tertarik ke kiri. Niat hatinya tercapai, "nggak dikasih belanja kamu sama si Nadhif?"

Aku menggeleng. Aku tidak mengelola uang Nadhif. Maksudku, keuangan rumah tangga tidak diserahkan kepadaku.

"Nggak boleh begitu. Uang itu diminta. Kuliah sampai ke Singapura. Itu saja tidak paham. Kenapa kamu bodoh sekali, Lin?" Omel Bunda Salma emosi.

Aku kembali diam. Ada sebersit rasa yang aku simpulkan sebagai bentuk tidak terima. Aku tersinggung dengan perkataan Bunda Salma.

Aku tidak mempermasalahkan siapa yang pegang uang. Aku sendiri bisa menghasilkan uangku sendiri, tapi kata-katanya sungguh membuatku teracuni. Harusnya aku meminta uang untuk aku kelola pada Nadhif. Sekalipun aku punya uang sendiri dan di rumah saja.

"Kapan sih pengumuman CPNS?" tanyaku pada Nadhif yang mulai mengambil ponselnya. Dia sudah bersiap untuk nonton film terbaru yang diunduh.

"Kenapa? Sudah nggak sabaran jadi PNS?" Ledek Nadhif. Selama ini aku memang berkeras tidak mau menjadi PNS karena berbagai macam alasan.

Aku menggeleng. Aku harus bicara. Suaraku bergetar, "bukan PNS-nya yang membuatku tidak sabar. Aku cuma mau keluar dari rumah ini. Semakin lama semakin buat aku jadi gila!"

Bukan saja bergetar. Isakku pun pecah. Kutahan agar tidak terdengar. Aku tahu Nadhif menyadari itu. Dia hanya tidak merespon.

"Kalau tidak bisa pindah ke rumah kita di Angsana, biar aku pindah ke luar kota saja. Apa bedanya kita dekat dan jauh? Sama-sama tidak ada saat aku membutuhkan!" Aku menyambung kalimat-kalimat yang sebenarnya tidak perlu.

Tatapan Nadhif masih terfokus pada layar ponsel. Aku mendengar suara percakapan bahasa Inggris Amerika meski pelan. Nadhif nonton film produksi hollywood.

"Abang memang tidak merasa. Karena ini keluarga abang. Rumah orang tua abang. Abang pergi pagi pulang malam. Apa yang terjadi sama kami abang tidak tahu. Sama Alin. Sama Abi. Mungkin juga abang memang tidak peduli!" Lanjutku berapi-api.

Nadhif meletakkan ponsel di atas nakas. Dia berbaring membelakangi dinding. Matanya terpejam.

"Aku capek, Bang! Tiap hari di rumah ngebabu. Jangankan dihargai. Malah dikatain kemana-mana. Abang pikir anak bisa tumbuh cerdas dengan kondisi ibu stress?" Aku terus mengomel. Aku yakin Nadhif belum tidur.

Aku sesenggukan tertahan. Kucoba halau semua air mata, tapi aku butuh pelampiasan. Setelah mengeluarkan unek-unek. Hatiku memang jauh lebih baikan.

Tahun ini. Aku harus menempatkan PINDAH RUMAH di resolusi pertama. Prioritas pertama. Kalau tahun lalu aku menempatkan MENDAPATKAN HOMEBASE DAN NIDN sebagai prioritas. Kali ini tidak. Aku harus mengubahnya.

Benar kata Wafa, percuma memperjuangkan homebase dan NIDN kalau status bukan dosen PNS. Buat apa? Toh pada akhirnya akan didepak oleh status dosen tetap PNS juga. Mereka yang tidak akan pernah lengser dan tidak akan terjajah. Sementara dosen-dosen part time seperti aku? Begh, dengan gampang sekali akan didepak dengan alasan sepele sekalipun.

Tentu saja. Selain berdoa keluar dari neraka ini. Aku juga berdoa lulus sebagai dosen tetap dengan status CPNS. Rasanya aku ingin buktikan pada Raisha bahwa aku tidak sebodoh yang dia lihat.

Syukurlah, aku sudah lolos di tahap Seleksi Kemampuan Dasar dengan sistem CAT. Nilaiku yang tidak tergolong tinggi bisa melengserkan beberapa belas nama menuju Seleksi Kemampuan Bidang. Kini aku berdoa semoga menjadi yang terbaik di antara tiga orang yang maju ke SKB. Apakah itu adik kelasku saat di UNIDAR atau orang baru yang memiliki nilai tertinggi.

Posting Komentar