Belakangan artikel tentang kurang makmurnya dosen merebak di media massa. Baik itu berupa opini, esai panjang di blog yang ditulis oleh dosen atau sekedar curcol di media sosial. Bahkan sebuah akun yang awalnya berisi informasi tentang karir dosen yang memberi informasi mendadak diserang oleh netizen yang kebanyakan berprofesi dosen. Karena apa? Karena seolah akun tersebut membantah semua keluh kesah dosen tentang kesejahteraannya.
Sebagai orang yang terlibat di dunia kampus, saya sama gemasnya dengan netizen lain. Apa yang ditulis oleh admin tentang sumber pemasukan dosen itu nggak benar sepenuhnya. Hanya beberapa orang saja yang mendapat privilege seperti itu. artinya hanya nol koma sekian saja. sebagai netizen, saya ngakak membaca komen para netizen yang awalnya berterima kasih atas semua info yang diberi menjadi hujatan.
[Photo: Pexels] |
Sama seperti kebanyakan orang berpikir, awalnya saya berpikir bahwa pekerjaan menjadi dosen ini adalah pekerjaan yang fleksibel dan bergengsi tinggi. Saya tidak mau menjadi guru karena lelah berurusan dengan anak-anak dan remaja labil. Padahal dibandingkan dosen, sepertinya menjadi guru jauh lebih menyenangkan. Akan tetapi, di sisi lain menjadi dosen itu dipandang kere(n) dulunya.
Ya, dulunya. Sebelum saya ikut berkecimpung di dunia ini. Posisi asisten dosen saja menyenangkan, apalagi kalau sudah menjadi dosen tetap dengan tugas tambahan khusus. Ternyata dunia tidak seindah dilihat dari lubang sedotan, ding! Sama seperti orang-orang, saya juga berpikir menjadi dosen itu pekerjaan yang menyenangkan. Apalagi saat melihat dosen-dosen saya ketika kuliah di Beijing dulu. Mereka kelihatan berkelas, keren, dan makmur.
Dosen Kerjanya Fleksibel
Ini yang saya lihat dari para pendahulu. Apalagi masih banyak kakak-kakak dosen yang mengajak saya nongkrong di jam kerja. Saya juga ditraktir kopi, lalu kami sama-sama memilih salah satu meja di sudut warkop untuk sekedar ngerumpi ilmiah atau mengetik isi kepala. Kapan saja, dimana saja.
Saat saya mahasiswa, saya tidak menemukan dosen-dosen saya nongkrong di kampus. Mereka tidak terlihat di waktu tidak mengajar. Ini juga salah satu indikator saya waktu itu bahwa kerja dosen fleksibel.
Setelah mengajar di kampus saya paham beberapa hal. Dosen tidak tidak terlihat di kampus bukan karena tidak mengajar lantas kelayapan. Sebagian dosen tidak punya meja dan kursi khusus di kampus. Karena kurangnya anggaran, pengadaan meja dan kursi dosen memberi peluang dosen tidak standby di kampus.
Perkara waktu dosen yang fleksibel bisa dibilang relatif. Sebagian dosen memilih warkop sebagai meja kerja sambil mencari, membaca, dan menulis jurnal untuk dipublikasikan. Sebagian dosen juga mengerjakan ‘tugas tambahan’ untuk membuat dapur tetap mengepul. Ada juga yang punya bisnis yang lebih membuat makmur dibandingkan mengajar. Jadinya, kesibukan dosen sudah terbagi. Fleksibel? Bisa iya dan tidak. Tergantung bagaimana pembaca menilainya.
Dosen Itu Kere(n)
Itu kan selalu dilakap oleh banyak orang? Keren. Tentu saja saya juga pernah menilai demikian. Apalagi masih berstatus Dosen Luar Biasa (DLB), tapi ke kampus naik mobil. Wah, jangan tanya bagaimana kerennya dosen itu. Pikiran saya dulu langsung tertuju pada pemasukan dosen yang tidak sedikit. Buktinya bisa kemana-mana naik kendaraan yang masuk pada kebutuhan tersier.
Setelah saya menjadi DLB di salah satu kampus negeri yang dipandang berkelas di Aceh, saya mulai paham bahwa nominal yang diterima DLB persemester itu nggak cukup buat bayar Grab, apalagi kredit mobil. Mereka yang kemana-mana dengan mobil itu memang dasarnya terlahir dari kemapanan. Sehingga tidak mengeluhkan seretnya isi dompet dan berlomba dengan waktu menumpang transportasi umum.
Pernah sekali, mahasiswa saya bercerita tentang pamannya yang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Gajinya lebih cukup, tapi dia selalu diundang menjadi dosen tamu di kampus-kampus. Menurut pemahaman saya, si paman anak ini bukan dosen tamu tetapi pemateri alias narasumber. Katanya sekali ngasih kuliah bisa bawa pulang amplop berisi dua jutaan atau lebih. Saking banyaknya uangnya, itu amplop dilempar-lempar isinya untuk para keponakan.
Saya memberi penilaian lagi, si paman ini tidak mau jadi dosen karena memang tahu berapa penghasilannya. Nggak sekeren kelihatannya untuk urusan isi dompet. Kere iya. Belum lagi kalau status masih DLB, setiap akhir semester selalu dalam kondisi galau, apakah ada mata kuliah yang akan diberikan atas namanya atau tidak. Ada berapa mata kuliah semester ini yang bisa diampunya. Jumlah SKS sangat menentukan jumlah pemasukan.
Seiring dengan keluarnya kebijakan baru tentang ketentuan mengajar untuk DLB, peluang lulusan S2 yang dulunya berakhir di kampus sebagai dosen akhirnya harus menunggu peluang dibukanya formasi dosen saat penerimaan CPNS. Perlahan status keren lulusan S2 yang bisa jadi dosen perlahan memudar. Tentu saja ini sangat berpengaruh pada kondisi keuangan yang mulai terasa tidak baik-baik saja, kan?
Dosen ATM Berjalan
Herannya dosen tetap saja dianggap profesi yang makmur dan tujuan sebagian orang untuk meminjam uang. Ini pengalaman saya sendiri. Padahal saya tidak punya mobil untuk ke kampus. Kendaraan operasional saya juga hanya motor Honda Beat yang bisa dikatakan seri yang murah-murah saja.
Pakaian? Saya nggak kenal tuh brand-brand lokal yang katanya mulai keren dan menjadi kiblat perempuan Indonesia masa kini. Sesekali saya melirik, tapi karena harganya di luar jangkauan saldo ATM saya, akhirnya saya tetap setia dengan merek sangat lokal yang tidak dilirik sama sekali orang perempuan kekinian. Brand-brand dengan inisial huruf itu mah lewat. Sama sekali nggak terlirik.
Sekali lagi, tapi... karena saya mengajar di kampus lantas saya dianggap makmur dengan semua jenis pemasukan tambahan yang dipikir orang banyak sekali. Apalagi saya terlihat sibuk dengan berbagai macam kegiatan volunteer dan dikira penghasilan saya dari kegiatan ini itu sudah berjuta-juta dalam seminggu.
Pernah ada seorang teman lama yang terus menerus chat saya melalui Whatapp. Awalnya tanya kabar, menit selanjutnya minta pinjam duit. Padahal kami sudah lama tidak berkomunikasi di media sosial apapun. Jangankan bertemu, bertelepon saja nggak pernah. Pertemuan terakhir saya dengan dia saat perpisahan di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Lama sekali bukan?
Saat berulang kali saya mengatakan, “maaf, tidak punya simpanan,” dia marah. Saya heran kenapa dia marah-marah ketika saya katakan tidak punya simpanan. Memang benar, setiap awal bulan semua gaji sudah ada pos-nya masing-masing. Mulai dari pos wajib untuk bayi sampai pos penampilan walau cuma buat beli bedak Wardah isi ulang.
“Kamu kan dosen. Masa nggak ada toleransi sama aku? Dosen kan uangnya banyak!” katanya marah-marah melalui pesan suara.
Dhuar! Antara mau ketawa atau menangis. Susah sekali emosi ini diwujudkan dalam bentuk nyata.
Akhirnya saya menjelaskan kalau saya dosen pemula dengan gaji standar umumnya PNS golongan III/b. Jangankan mencari penghasilan tambahan dengan menulis artikel yang dibayar seribu perkata seperti masa kuliah dulu, bisa tidur sebelum pukul satu dini hari saja sudah alhamdulillah.
Lantas dia berkomentar, “oh, sedihnya nasibmu, kawan. Rupanya gayamu saja yang tinggi jadi dosen. Lebih banyak uangku yang ngongkosen dari kebun ke kebun.”
Ya, begitulah kondisinya.
Sekolahkan SK Sebelum Lanjut Sekolah
Di lain waktu teman saya yang lain juga menghubungi dengan niatan yang sama. Dia kenal saya cukup baik. sehingga fokus obrolannya langsung tertuju pada target yang diminta.
“Seratus juta aja, Fa. Nggak sudah banyak-banyak,” katanya. Saya hampir menjatuhkan hape saking kagetnya. Nggak usah banyak katanya. Sampai segede ini saya belum pernah melihat uang kas seratus juta.
“Kayaknya salah tempat minta kamu, kawan,” kata saya sambil tertawa.
“Nggak salah lah. Aku minta sama bu dosen,” kata dia lagi.
Saya jelaskan pada dia kalau saya nggak punya tabungan sebanyak itu. jangankan bentuk uang, bentuk tabungan benda seperti emas saja tidak punya. Uang segitu banyak cuma saya miliki dalam mimpi.
Dia merespon dengan tenang, “bisa lah. Sebelum kamu lanjut sekolah, sekolahkan saja dulu SK-nya.”
What? Sekolahkan SK untuk kepentingan orang lain. Ini big no! Tentu saja saya nggak mau.
“Nggak berani aku. Karena dalam waktu dekat, aku berencana mau lanjut sekolah. Pasti banyak biaya yang aku butuhkan,” jawab saya setenang mungkin. Padaha dalam hati greget luar biasa.
Lantas dia bercerita kenapa dia membutuhkan uang seratus juta. Mereka sedang membangun rumah, ada tahapan yang belum selesai seperti finishing dan pagar. Perkiraan dia dan suaminya habis seratus juta lebih kurang. Mereka bukan nggak punya uang katanya, tapi baru beli mobil Pajero Sport. Suaminya nggak suka beli mobil biasa sejenis Avanza apalagi Agya. Lebih baik nggak punya daripada nanggung dan pikiran masih di Pajero Sport.
Saya masih menanggapi positif, “oh, besar sekali kamu buat rumah. Makanya nggak cukup duit buat finishing.”
“Biar sekali bangun, Fa. Nggak bangun berulang. Nanti jelek jadinya karena sudah beda-beda desain dan kualitas pembangunannya. Kalau mau sempurna yang harus sekalian dan nekat terus.”
Duh, luar biasa sekali si kawan ini. Pikirannya sudah sangat jauh di depan. Sementara saya masih tinggal di rumah dua kamar di komplek perumahan yang tak jauh dari kampus. Halaman rumah kecil, bisa parkir sepeda motor atau mobil kawan yang mungil-mungil itu saja sudah alhamdulillah. Jangankan dekor rumah ala-ala instagram, pagar saja masih berupa bunga kosmos.
“Maaf sekali, saya nggak punya.”
“Itulah. Mau bagaimana kan? Kirain dosen makmur, ternyata emakmu juga yang nambah-nambah buat dapur, ya.”
Tanggapan si kawan sebenarnya menyakitkan. Untungnya nggak saya tanggapi. Iya, dosen itu memang kelihatan makmur. Kenyataannya nggak seindah di cerita novel, kok. Dimana sosok dosen yang digambarkan di novel-novel agak sedikit nggak masuk akal.
Posting Komentar